Daivadyantam tadiheta,
pitradyantamna tad bavet.
pitradyantam tvihamanah
ksipram nasyati sanvayah
(Manawa Dharmasastra.III.205).
Maksudnya:
Hendaknya melakukan pemujaan leluhur dengan upacara Sradha terlebih dahulu barulah melakukan pemujaan pada Dewa. Pemujaan leluhur hendaknya diakhiri dengan pemujaan Dewa. Pemujaan leluhur yang diakhiri juga dengan pemujaan leluhur akan membawa kehancuran bersama keturunannya.
Setiap tempat pemujaan umat Hindu pada umumnya dan terutama di Bali selalu ada dua fungsi sebagai Atma Pratista dan Dewa Pratista. Atma Pratista itu adalah sebagai media pemujaan Dewa Pitara atau roh suci leluhur. Sedangkan sebagai Dewa Pratista adalah sebagai media untuk memuja Dewa manifestasi Tuhan. Karena itu pura di Bali umumnya selalu memiliki pelinggih untuk Atma Pratista atau memuja roh suci yang telah mencapai alam Dewa atau Sidha Dewata dan ada pelinggih untuk Dewa Pratista yaitu pelinggih untuk memuja Dewa manifestasi Tuhan.
Karena itu tempat pemujaan keluarga seperti Merajan Gede dengan Pelinggih Gedong Pertiwi umumnya dilengkapi dengan dua bentuk pelinggih yang disebut Pelinggih Limas Catu dan Limas Mujung. Dua pelinggih ini umumnya dibangun di sebelah kanan Pelinggih Gedong Pertiwi berjejer menghadap ke barat. Pelinggih Gedong Pertiwi adalah tempat memuja leluhur yang telah mencapai Dewa Pitara.
Dalam Lontar Siwagama dinyatakan bahwa kalau keluarga itu sudah berkembang menjadi lebih dari sepuluh pekarangan tempat tinggal, maka untuk menyatukan keluarga tersebut memiliki Merajan Gede dengan pelinggih utamanya Gedong Pertiwi. Ini artinya Gedong Pertiwi itu sebagai Atma Pratista, sedangkan dua Pelinggih Limas Catu dan Limas Mujung sebagai Dewa Pratista.
Bentuk Pelinggih Limas Catu dan Limas Mujung itu seperti Meru Tumpang Satu, hanya atapnya berbeda-besa. Pelinggih Limas Catu bentuk atapnya ditutup dengan ”paso” yang dihias indah berukir sampai ke ujungnya sehingga tidak sama dengan paso yang digunakan untuk keperluan dalam rumah tangga. Sedangkan Limas Mujung atapnya dari serat ijuk dibuat lancip mengerucut ke atas seperti berkuncir.
Pelinggih Gedong dan dua Pelinggih Limas tersebut berbeda jenis padagingan-nya saat upacara sakralisasinya. Padagingan Gedong menggunakan padagingan Atma Pratista, sedangkan padagingan Limas Catu dan Limas Mujung menggunakan padagingan Dewa Pratista.
Sistem pemujaan tersebut amat sesuai dengan apa yang diajarkan dalam Manawa Dharmasastra III.205 tersebut. Dengan sistem pelinggih utama dan ada pelinggih yang disebut pelinggih ”jajar kemiri” sebagai pelengkap suatu tempat pemujaan maka tata cara pemujaan bertahap dapat dilakukan oleh umat dalam segala tingkatannya.
Pemujaan bertahap itu adalah sistem pemujaan yang disebut Apara Bhakti. Dalam Agni Purana ada dua cara bakti pada Tuhan yaitu dengan Para Bhakti dan dengan Apara Bhakti. Para Bhakti adalah cara pemujaan yang tertinggi hanya bakti kepada Tuhan. Bakti seperti itu hanya dapat dilakukan oleh mereka yang memiliki tingkat kerohanian yang tinggi seperti para resi.
Karena itu ajaran Hindu memberikan jalan kepada mereka yang masih dalam tingkatan ekajati untuk melakukan bakti kepada Tuhan dengan cara yang disebut Apara Bhakti. Pemujaan Tuhan dalam tingkatan Apara Bhakti ini umat melakukan bakti bagaikan hubungan anak yang masih kecil kepada orangtuanya. Anak kecil merengek minta berbagai keperluannya kepada orangtuanya bukan karena pamerih, tetapi karena hubungan bakti dan kasih pada orangtua.
Dalam Apara Bhakti umat bisa saja memuja Tuhan dengan menyampaikan berbagai permohonan. Hal itu bukanlah bakti yang rendah, sepanjang yang dimohon kepada Tuhan hal-hal yang benar dan wajar. Sedangkan kalau sudah pada tingkat Para Bhakti pemuja Tuhan hanyalah memuja kebesaran dan kemahakuasaan Tuhan.
Adanya Pelinggih Limas Catu dan Limas Mujung di sebelah kanan Pelinggih Gedong Pertiwi itu sebagai media pemujaan Tuhan dalam fungsinya sebagai pencipta kesejahteraan material dan spiritual. Dua pelinggih tersebut disebut dengan berbagai istilah oleh umat Hindu di Bali. Ada yang menyebutnya sebagai Pasimpangan Ida Batara di Gunung Lebah. Sedangkan Limas Mujung Pasimpangan Ida Batara di Gunung Agung.
Pura Besakih di Gunung Agung dan Pura Batur di Gunung Batur tergolong Pura Kahyangan Jagat yang didirikan dengan konsepsi Rwa Bhineda. Pura Besakih tergolong Pura Purusa dan Pura Batur tegolong Pura Pradana.
Pelinggih Jajar Kemiri pemujaan di Gedong Pertiwi itu ada banyak versi, sesuai dengan sejarah keberadaan keluarga penyungsung merajan tersebut. Yang pasti sama adalah adanya pelinggih untuk Atma Pratista dan Dewa Pratista di setiap tempat pemujaan Hindu di Bali. Umat yang masih dalam tingkatan Apara Bhakti membutuhkan bantuan leluhurnya yang sudah mencapai tingkatan Dewa Pitara untuk mencapai bakti kepada Tuhan.
Dalam Manawa Dharmasastra III.37 dinyatakan bahwa leluhur dan keturunannya masih bisa saling menyelamatkan dari dosa. Kalau keturunan itu berbuat baik akan dapat membantu kedudukan spiritual leluhurnya di alam niskala. Sebaliknya kalau leluhur di alam niskala mencapai tingkatan yang tinggi akan dapat menyelamatkan keturunannya dari dosa di alam sekala. Meskipun demikian sistem pemujaan leluhur dalam ajaran Hindu dalam rangka memuja Tuhan sebagai pemujaan tertinggi.
Pemujaan dengan sarana Pelinggih Limas Catu dan Limas Mujung itu adalah untuk memuja Tuhan sebagai pencipta jiwa dan raga atau Purusa dan Pradana. Manusia tercipta oleh Tuhan dari Purusa dan Pradana. Bertemunya Purusa dan Pradana itulah yang menyebabkan adanya hidup ini. Menurut ajaran Hindu memuja Tuhan itu bukan sekadar memuja. Memuja Tuhan Yang Mahakuasa itu untuk dapat didayagunakan menguatkan kehidupan lahir batin.
Demikian juga pemujaan Tuhan dalam fungsi-Nya sebagai pencipta Purusa dan Pradana dipuja untuk mengingatkan umat manusia agar selalu membangun hidup yang seimbang. Dengan sistem pemujaan yang demikian itu berarti ajaran Hindu tidak semata-mata mengajarkan tentang kerohanian saja, tetapi mengajarkan kehidupan yang seimbang antara kehidupan duniawi dan rohani. Penderitaan itu terjadi kalau kehidupan jasmani dan rohani tidak seimbang.
Sumber: Bali Post