Nilai Luhur

Salah satu sameton titiyang bertanya: “Nilai luhur apa yang dapat kita petik dari memuliakan leluhur kita yang dahulu tidak henti- hentinya berperang?” Kemudian tiang balas bertanya: “Apakah sekarang kita sudah menghentikan perang itu?”

Tidak ada bedanya bukan? Kalau dulu darah ditumpahkan untuk sebuah kepentingan, sekarangpun nilai yang lebih mahal dari darah telah banyak ditumpahkan untuk sebuah kepentingan. Pertumpahan darah pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan pertumpahan emosi dan keringat pada masa sekarang. Bahkan kehormatan yang dulu dijaga dengan darah dan nyawa, sekarang telah diperdagangkan untuk sebuah kepentingan.

Kalau kita menghayati Panca Sraddha, maka nampak jelas apa maksud memuliakan keluhuran para leluhur. Marilah kita simak yang berikut ini:

Ada suatu tempat suci bernama Dhruvatirtha. Seorang rsi suatu kali bertemu dengan seseorang yang bernama Agasti di sana. Agasti demikian kurusnya dan kelihatan berpenyakitan. Agasti sesungguhnya sudah mati dan hanya hantu belaka. Ada beberapa orang mati yang juga berkumpul di Dhruvatirtha. Beberapa dari mereka kelihatan bahagia dan memberikan berkah mereka yang penuh untuk keturunan mereka di marcapada. Mereka sampai di Dhruvatirtha berkendaraan vimana. Yang lainnya seperti Agasti kelihatan sangat sulit dan sampai dengan bersusah payah. Mereka mengutuk keturunan mereka di marcapada, karena siksaan yang mereka terima di neraka.

Mereka menderita hanya karena keturunan mereka melupakan mereka.

Agasti mengatakan kepada sang rsi bahwa upacara pemakaman/ pengabenan yang dilakukan dengan benar dan dengan penghormatan penuh akan membawa punia kepada mereka yang melakukannya. Hal itu juga akan membantu leluhur/ pitara untuk siapa upacara sraddha itu dilakukan. Tanpa adanya upacara penguburan/ pengabenan, para pitara akan menderita. Mereka juga akan menderita kalau upacara sraddha dilakukan dengan salah atau tanpa penghormatan yang tulus. Di dalam hal seperti itu, hantu dan ular sajalah yang berhak atas persembahan yang dilakukan dan para pitara tidak memperoleh apa apa. Para pitara yang kelihatan kurus dan berpenyakitan ini tidaklah dihormati dengan upacara pemakaman yang layak. Pitara yang demikian akan tetap menanti suatu saat akan terlahir di antara keturunannya, yang akan memberinya suatu upacara sraddha yang baik.

Agasti juga mengaku bahwa dia adalah leluhurnya Prabhavati. Sang rsi menceriterakan kembali apa yang dia dengar kepada Prabu Chandrasena dan permaisurinya. Prabhavati dan putrinya, Virupakanidhi dikirim paksa ke Dhruvatirtha dan disuruh melakukan upacara sraddha. Penampilan Agasti dengan seketika berubah. Sebuah vimana (kereta terbang) sampai dan membawa Agasti ke sorga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *