Penjelasan:
- Pis Bolong adalah jenis mata uang yang sampai saat ini memiliki arti penting bagi kehidupan beragama di Bali khususnya Agama Hindu. Melihat kegunaannya Pis Bolong pasti ada pada setiap upacara yang diselenggarakan di Bali baik itu dari Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Manusa Yadnya, maupun Bhuta Yadnya.
Pis Bolong yang berbentuk uang logam dengan lubang segi empat di tengah dibuat dari campuran logam seperti perunggu, tembaga, atau kuningan. Melihat dari huruf yang tertera pada Pis Bolong ini tentunya sudah dapat diketahui dari mana asal mula Pis Bolong ini. Pis Bolong ini diperkirakan datang dari negeri Cina pada jaman kejayaan Majapahit untuk dijadikan alat pembayaran.
Kegunaan Pis Bolong pada saat ini tidak untuk alat pembayaran lagi tapi berfungsi sebagai Pis Sandangan dalam Upacara-upacara besar atau Sesari pada Kewangen. Pis Sandangan yang dibungkus dengan tapis dan diikat dengan anyaman dari bambu atau penyalin (rotan) sehingga berbentuk mirip kendi air. Jumlah keping dalam Pis Sandangan ini adalah SEPA SATUS ( Seribu Tujuh Ratus). Lebih kecil dari Pis Sandangan ini ada yang disebut Pis Andel Andel yang diikat dengan benang Tridatu sebanyak dua ratus keping. Pis Andel Andel digunakan dalam upacara yang lebih kecil.
Selain itu Pis Bolong juga digunakan saat Ngajum Sekah pada upacara Ngaben yang ditempatkan di atas kain putih yang telah digambari menyerupai anatomi tubuh manusia dan ditempel menggunakan jarum.
Selain sebagai alat transaksi pembayaran dan upacara, menurut penuturan para tetua di Bali bahwa Pis Bolong yang memiliki keunikan dan ciri tertentu selalu menjadi incaran. Pada saat itu dikalangan remaja ada yang gemar untuk mendapatkan PIS REJUNA yaitu uang bolong yang bergambar Tokoh Pewayangan yang paling cakap dalam memanah yaitu Sang ARJUNA. Pis Bolong bergambar Arjuna ini dipercaya bisa digunakan untuk memikat gadis yang menjadi incaran sang pemuda. Dengan simbol sang Arjuna ini diyakini akan dapat memanah Jantung Asmara sang gadis untuk dipersunting dijadikan istri. Sedemikian sulit dan kuatnya kepercayaan akan khasiat dari Pis Rejuna ini tidak sedikit di antara pemuda-pemuda yang kuat keinginannya untuk segera mempersunting gadis idaman ini berburu di malam hari ke tempat tempat yang angker untuk mendapatkan Pis Arjuna ini. Disamping Pis Arjuna ada juga yang disebut Pis Jaran yang dipercaya memiliki khasiat memberi kekuatan menyamai Kuda. Pis ini biasanya dipercaya digunakan di dalam pertandingan lari, sepak bola dan olah raga lain yang memerlukan stamina kuat untuk bertanding. Ada juga yang disebut Pis Tualen, Pis Sangut yang kegunaannya sesuai dengan karakter tokoh-tokoh yang ada dalam pewayangan itu. -
Tirtha adalah air suci, yaitu air yang telah disucikan dengan suatu cara tertentu. Pada umumnya tirtha itu diperoleh melalui dua cara, yaitu:
- Dengan cara memohon di hadapan palinggih Ida Bhatara melalui upacara tertentu. Tirtha yang diperoleh dengan cara ini pada umumnya disebut orang tirtha wangsuh pada atau banyun cokor
-
Dengan cara membuat (ngareka) yang dilakukan dengan mengucapkan puja-mantra tertentu, oleh beliau yang memiliki wewenang untuk itu. Tirtha yang diperoleh dengan cara ini antara lain adalah: tirtha panglukatan, tirtha prayascita, tirtha durmanggala dan sebagainya, dan juga tirtha-tirtha untuk pamuput upacara yadnya, seperti tirtha pangentas, tirtha panembak dan sebagainya.
Adapun tirtha yang digunakan setelah selesai sembahyang adalah tirtha wangsuh pada Ida Bhatara. Tirtha ini dipercikan di kepala, diminum dan dipakai mencuci muka. Hal ini dimaksudkan agar pikiran dan hati orang menjadi bersih dan suci, yaitu bebas dari segala kekotoran, noda dan dosa, kecemaran dan sejenisnya. Kebersihan dan kesucian hati adalah pangkal ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan lahir bathin.
- Dengan cara memohon di hadapan palinggih Ida Bhatara melalui upacara tertentu. Tirtha yang diperoleh dengan cara ini pada umumnya disebut orang tirtha wangsuh pada atau banyun cokor
-
Bunga dan kawangen adalah lambang kesucian. Sebagai sarana sembahyang, kita memerlukan yang terbaik, yaitu bunga yang segar, bersih dan harum. Jika dalam persembahyangan tidak ada kawangen dapat diganti dengan bunga.
Ada beberapa bunga yang tidak baik untuk sembahyang. Menurut Agastyaparwa bunga tersebut adalah yang seperti berikut:
nihan ikang kembang tan yogya pujakena ring bhatara:
kembang uleren, kembang ruru tan inunduh, kembang laywan-laywan ngaranya alewas sekar kembang munggah ring sema, nahan ta lwir ning kembang tan yogya pujakena de nika sang satwika.Inilah bunga yang tidak patut dipersembahkan kepada Bhatara, bunga yang berulat, bunga yang gugur tanpa diguncang, bunga yang berisi semut, bunga yang layu yaitu yang lewat masa mekarnya, bunga yang tumbuh di kuburan. Itulah jenis-jenis bunga yang tidak patut dipersembahkan oleh orang baik-baik.
-
Mawija atau mabija dilakukan setelah usai mathirta, yang merupakan rangkaian terakhir dan suatu upacara persembahyangan. Wija atau bija adalah biji beras yang dicuci dengan air bersih atau air cendana. Kadangkala juga dicampur kunyit (Curcuma Domestica VAL) sehingga berwarna kuning, maka disebutlah bija kuning. Bila dapat supaya diusahakan beras galih yaitu beras yang utuh, tidak patah (aksata).
Wija atau bija adalah lambang Kumara, yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Pada hakekatnya yang dimaksud dengan Kumara adalah benih ke-Siwa-an yang bersemayam dalam diri setiap orang. Mawija mengandung makna menumbuh- kembangkan benih ke-Siwa-an itu dalam diri orang. Benih itu akan bisa tumbuh dan berkembang apabila ladangnya bersih dan suci, maka itu mewija dilakukan setelah mathirta.
Dalam diri manusia terdapat sifat kedewataan dan sifat keraksasaan yang disebut Daivi-sampat dan Asuri-sampat. Menumbuh- kembangkan benih ke-Siwa-an berarti menumbuhkembangkan sifat kedewataan tersebut agar dapat mengatasi sifat keraksasaan. Kedua sifat itu bersemayam dalam pikiran dan lubuk hati manusia. Untuk tumbuh dan berkembangnya sifat kedewataan atau benih ke-Siwa-an itu dalam pikiran dari hati manusia maka tempat memuja itu yang terpenting di dua tempat, yaitu: pada pikiran dari hati itu sendiri, masing-masing dengan cara menempelkan di tengah-tengah kedua kening dan dengan menelannya. Patut pula diingat bahwa wija di samping sebagai lambang Kumara, juga sebagai sarana persembahan.
Agaknya perlu juga dikemukakan di sini bahwa wija/bija tidak sama dengan bhasma. Kadangkala antara wija/bija dan bhasma itu pengertiannya rancu. Wija tersebut dari beras sedangkan bhasma terbuat dari serbuk cendana yang sangat halus. Serbuk ini diperoleh dengan menggosok-gosokkan kayu cendana yang dibubuhi air di atas sebuah periuk atau dulang dari tanah liat. Kemudian hasil gosokan (asaban) itu diendapkan. Inilah bahan bhasma. Kata bhasma sendiri secara harfiah berarti abu atau serbuk. Kata “bhas” dalam kata bhasma tidak sama dengan kata baas dalam bahasa Bali yang berarti beras. Karena kata Bhasma adalah kata dalam bahasa Sansekerta. Pemakaiannyapun berbeda. Kalau wija umumnya dipakai oleh orang yang masih berstatus walaka, sedangkan bhasma hanya dipakai oleh Sulinggih yang berstatus sebagai anak lingsir. Kata wija berdekatan artinya dengan kataWalaka dan Kumara yang berarti biji benih atau putera.
Bhasma dalam hal ini adalah lambang Sunya atau Siwa. Dengan pemakaian bhasma itu Sulinggih bersangkutan menjadikan dirinya Siwa (Siwa Bhasma), disamping sebagai sarana untuk menyucikan dirinya (Bhasma sesa).
-
Bhasma terbuat dari serbuk cendana yang sangat halus. Serbuk ini diperoleh dengan menggosok-gosokkan kayu cendana yang dibubuhi air di permukaan sebuah periuk atau dulang dari tanah liat. Hasil gosokan (asaban) itu kemudian diendapkan. Inilah bahan bhasma.
Kata bhasma sendiri secara harfiah berarti abu atau serbuk. Kata “bhas” dalam kata bhasma tidak sama dengan kata baas dalam bahasa Bali yang berarti beras. Karena kata Bhasma adalah kata dalam bahasa Sansekerta. Pemakaiannyapun berbeda. Kalau wija umumnya dipakai oleh orang yang masih berstatus walaka, sedangkan bhasma hanya dipakai oleh Sulinggih yang berstatus sebagai anak lingsir. Kata wija berdekatan artinya dengan kata Walaka dan Kumara yang berarti biji benih atau putera.
Bhasma dalam hal ini adalah lambang Sunya atau Siwa. Dengan pemakaian bhasma itu Sulinggih bersangkutan menjadikan dirinya Siwa (Siwa Bhasma), disamping sebagai sarana untuk menyucikan dirinya (Bhasma sesa).
-
Banten pekidih atau jotan. Setiap keluarga Hindu, biasanya diwakili oleh ibu, setiap hari membuat banten kecil yang disebut banten pekidih atau jotan. Banten sederhana ini biasanya terdiri atas beberapa tanding (porsi) masing- masing dialasi selembar daun pisang, atau daun jepun (bunga kamboja), atau taledan kecil dari slepan / janur atau tangkih, berisi sejumput nasi, secuil garam dan sejumput lauk pauk yang dimasak (kecuali daging sapi atau daging babi). Banten tersebut kemudian disajikan ke beberapa tempat sesuai dengan kebiasaan keluarga. Lihat pembahasan mengenai Yadnya Sesa.
Kebiasaan tersebut dilakukan setelah memasak, sebelum ada yang makan. Tujuannya adalah sebagai pernyataan rasa terimakasih ke hadapan Hyang Widhi. Juga dibantenkan kepada segala isi dunia / gumatat- gumitit agar tidak mencampuri urusan kehidupan.
Pages: 1 2