Sadwara

Siklus enam harian dari wewaran. Ditinjau dari petunjuk harinya, siklus ini rupanya menelaah sifat-sifat buruk yang sedang dominan karena dipengaruhi oleh hawa wewaran ini. Maksud dari petunjuk ini, agar tindakan kita disesuaikan dengan apa yang sedang terjadi. Agar kita dapat mencegah hal-hal yang dapat merugikan kita, dan kalau bisa memanfaatkannya untuk kemajuan kita. Unsur-unsurnya adalah: 1. Tungleh, 2. Aryang, 3. Urukung, 4. Paniron, 5. Was, 6. Maulu. Tungleh (Tungle) =

Pancawara / Pañcawara

Pancawara adalah siklus lima harian dalam wewaran. Unsur-unsurnya adalah Pon, Wage, Kliwon, Umanis dan Paing. Sebagai wewaran yang berpengaruh langsung terhadap kehidupan manusia, sifat pancawara ini sangat unik. Nenek moyang kita mengumpamakan sifat hari ini sebagai sifat binatang. Bukan martabat kebinatangannya yang ditekankan disini, tetapi sebagai pencerminan agar yang bersangkutan dapat menganalisa, merenung sifat dan laku masing-masing yang di depan cermin. Asal muasal nama-nama ini sangat misterius. Konon simbolisasi dari

Caturwara

Catur wara adalah siklus empat harian dalam wewaran. Unsurnya ada empat yaitu Sri, Laba, Jaya dan Menala. Sri atau Seri Sri artinya kemakmuran. Hari yang baik untuk para petani atau sektor agro. Hari ini panen dapat diandalkan, bibit akan mudah bersemi dan hama akan mudah ditaklukkan. Ternak lebih gemuk dan daging lebih lembut. Sebaiknya hari ini tidak baik untuk mengolah kayu atau bambu karena serat akan menguat dan logam akan

Triwara

Triwara adalah siklus tiga harian dalam pawewaran. Unsurnya ada tiga yaitu Pasah, Beteng, dan Kajeng. Sifat ketiga unsur ini lebih nyata dalam kehidupan kita. Unsur keduniawian lebih dominan karena umumnya baik buruknya masih dapat kita kendalikan asalkan dengan kesungguhan. Pasah atau Dora Pasah artinya tersisih. Baik untuk dewa-yadnya. Baik untuk mengerjakan hal-hal yang kaitannya dengan masa depan. Tidak baik mengungkit masa lalu, juga mengadili orang berdasarkan masa lampau. Baik untuk

Dwiwara

Dwiwara adalah daur dua harian dalam pawewaran. Unsurnya ada 2, yaitu Menga dan Pepet. Dwiwara ini adalah wewaran imbas, artinya terbentuk dari adanya wewaran lain, yaitu urip pancawara dan saptawara. Karena itu kandungan spiritualnya lebih tinggi dari yang kedua wewaran itu, karena boleh dikatakan merupakan kesimpulan interaktif keduanya. Menga Menga artinya terbuka, hari ini umumnya baik untuk bersosialisasi. Pekerjaan yang dikerjakan secara kolektif akan menemui hasil yang lebih baik. Tidak

Ekawara

Ekawara adalah daur satu hari dari Pawewaran. Unsurnya hanya satu: Luang. Arti harafiahnya adalah kosong, tunggal, massive, pejal. Karena tergantung kepada urip saptawara dan pancawara, maka kandungan spiritualnya lebih tinggi dari yang kedua wewaran itu, dikatakan merupakan kesimpulan interaktif keduanya. Hari ini baik untuk mengerjakan hal-hal yang sifatnya pribadi dan merupakan unsur vertikal antara ciptaan dan pencipta. Lebih baik diam dari pada membicarakan orang lain, karena baik maupun buruk bukan

I Made Bija

Berikut tulisan Pak Bija di Bali Post sehubungan dengan masih rancunya pedoman kalender Saka Bali. Saya ingin menyampaikan kepada PHDI Propinsi, sudi kiranya menanggapi apa yang saya utarakan berikut ini: Saya mendapat kabar dari penyusun kalender Bali, Bapak Wayan Gina dari Karangasem bahwa penampih sasih akan diganti dari penampih yang sudah ada yaitu Penampih Sasih Berkeseimbangan, kembali lagi ke Jhesta Sadha. Tujuannya, supaya hari raya Nyepi/ Tahun Baru Saka tetap jatuh pada bulan Maret. Hal ini

I Wayan Gina

Beliau juga menulis buku Aneka Tarikh, yang diterbitkan oleh Upada Sastra, berisi berbagai macam perhitungan kalender di dunia. Kami belum punya riwayat hidup beliau untuk ditulis di sini, bila Anda memiliki data tentang Beliau mohon masukannya.

Ketut Bangbang Gde Rawi

Beliau lahir di Desa Celuk, Sukawati, Sabtu Pon Sinta 17 September 1910 sebagai anak keempat dari enam bersaudara dari pasangan Jro Mangku Wayan Bangbang Mulat dan Jro Mangku Nyoman Rasmi. Tahun 1929, setelah tamat sekolah Goebernemen Negeri di Sukawati, dalam usia 19 tahun, Ketut Bangbang Gde Rawi sudah mulai tekun mempelajari ihwal wariga, adat, dan filsafat agama Hindu. Proses perburuan ilmu ini dilakukan dengan cara bertandang ke griya-griya, mencari lontar,