Kalender atau penanggalan Bali sangat penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bali. Tidak seperti kalender lain yang macamnya puluhan di dunia, kalender Bali sangat istimewa. Penanggalan Bali adalah penanggalan “konvensi”. Tidak astronomis seperti penanggalan Islam, tidak pula aritmatis seperti penanggalan Jawa, tetapi ‘kira-kira’ ada di antara keduanya.
Penanggalan Bali mirip penanggalan luni-solar. Berdasarkan posisi matahari dan sekaligus bulan. Dikatakan konvensi atau kompromistis, karena sepanjang perjalanan tarikhnya masih dibicarakan bagaimana cara perhitungannya. Ada beberapa cara yang dicoba diterapkan beberapa tahun (sistem Nampih Sasih) kemudian kembali ke cara sebelumnya (Malamasa). Demikian sejalan dengan dinamika rakyat Bali. Berikut sedikit uraian mengenai beberapa tantangan yang ditemui dalam memformat kalender Bali secara komputasi komputer di kelir babadbali.com.
Dalam kompromi sudah disepakati bahwa: 1 hari candra = 1 hari surya. Kenyataannya 1 hari candra tidak sama dengan panjang dari 1 hari surya. Untuk itu setiap 63 hari (9 wuku) ditetapkan satu hari-surya yang nilainya sama dengan dua hari-candra. Hari ini dinamakan pangunalatri. Hal ini tidak sulit diterapkan dalam teori aritmatika. Derajat ketelitiannya cukup bagus, hanya memerlukan 1 hari koreksi dalam seratusan tahun. Karena itu dalam kelir babadbali.com disandingkan phase bulan secara perhitungan Bali dengan phase bulan secara astronomik.
Dalam 1 bulan candra atau sasih, disepakati ada 30 hari terdiri dari 15 hari menjelang purnama disebut penanggal atau suklapaksa, diikuti dengan 15 hari menjelang bulan baru (tilem) disebut panglong atau kresnakapsa. Penanggal ditulis dari 1 pada bulan baru, sampai 15 yaitu purnama, menggunakan warna merah pada kalender cetakan. Setelah purnama, kembali siklus diulang dari angka 1 pada sehari setelah purnama sampai 15 pada bulan mati (tilem) menggunakan warna hitam. Dalam perhitungan matematis, untuk membedakan warna, sering dipakai titi. Titi adalah angka urut dari 1 yaitu bulan baru, sampai 30 pada bulan mati. Angka 1 sampai 15 mewakili angka merah atau penanggal, 16 sampai 30 mewakili angka 1 sampai 15 angka berwarna hitam atau panglong.
Panjang bulan surya juga tidak sama dengan panjang sasih (bulan candra). Sasih panjangnya berfluktuasi tergantung kepada jarak bulan dengan bumi dalam orbit elipsnya. Sehingga kurun tahun surya kira-kira 11 hari lebih panjang dari tahun candra. Untuk menyelaraskan itu, setiap kira-kira 3 tahun candra disisipkan satu sasih tambahan. Penambahan sasih ini masih agak rancu peletakannya. Inilah tantangan bagi dunia aritmatika. Idealnya awal tahun surya jatuh pada paruh-akhir sasih keenam (Kanem) atau paruh-awal sasih ketujuh (Kapitu), sehingga tahun baru Saka (hari raya Nyepi) selalu jatuh di sekitar paruh-akhir bulan Maret sampai paruh-awal bulan April.
Tahun baru bagi penanggalan Bali, diperingati sebagai hari raya Nyepi, bukan jatuh pada sasih pertama (Kasa), tetapi pada sasih kesepuluh (Kadasa). Idealnya pada penanggal 1, yaitu 1 hari setelah bulan mati (tilem). Pada tahun 1993, Hari raya Nyepi jatuh pada penanggal 2, diundur 1 hari, karena penanggal 1 bertepatan dengan pangunalatri dengan panglong 15 sasih Kasanga. Sekali lagi kompromi diperlukan dalam perhitungan ini.
Sejak hari raya Nyepi, angka tahun Saka bertambah 1 tahun. Menjadi angka tahun surya Masehi dikurangi 78. Dengan demikian sasih- sasih sebelum itu berangka tahun Masehi minus 79. Hal ini akan terasa janggal bagi pengguna penanggalan Masehi, karena angka tahun sasih Kasanga satu tahun dibelakang angka tahun sasih Kedasa, dan angka tahun dari sasih terakhir, Desta (Jiyestha) sama dengan angka tahun berikutnya untuk sasih pertama (Kasa).
Banyak piodalan pura di Bali ditetapkan menurut kalender Saka. Beberapa hari suci juga berdasarkan tahun Saka, misalnya Hari Raya Nyepi dan Hari Suci Siwaratri. Dewasa ayu untuk berbagai keperluan pertanian dan industri juga sangat bergantung kepada tahun Saka, karena tahun Saka erat kaitannya dengan perjalanan musim. Pada kalender cetakan yang dibuat oleh pakar-pakar kalender Bali (pelopornya adalah pak Ketut Bangbang Gede Rawi) hampir tidak ada lagi ruangan untuk mencatat kejadian lain. Sudah penuh dengan segala petunjuk dan analisa tentang baik buruknya setiap hari. Itupun belum cukup, di belakang lembaran2 kalender itu selalu tercetak dengan sangat padat, informasi tentang banyak hal yang kaitannya sangat erat dengan perjalanan sang waktu. Walaupun demikian pentingnya kalender Bali, nampak selalu dicetak dengan kualitas seadanya, kalah dengan kertas mengkilap dan cetakan offset seperti kalender bergambar artis. :-))
Sayang sekali lagi, kalender Bali nampaknya hanya sampai pada tahap ini. Peranan generasi muda Bali tidak ada sama sekali. Pengkinian (update) nampaknya hanya pada angka dan kurunnya saja. Aktifitas-aktifitas yang tercakup seperti: hari baik untuk mencocok hidung kerbau, hari baik untuk menaikkan padi ke lumbung dan sebagainya, walaupun sudah langka untuk budaya kini, masih tetap ajeg tercantum seperti di lontar aslinya.
Sebetulnya kalau mau, para pakar kalender dan padewasan pasti dapat memberi petunjuk kapan hari baik untuk memformat hard disk, memulai group mailing list baru, men-tune-up karburator, mengganti filter udara AC atau kendaraan sampai hari baik untuk mengekspor produk baru dan sebagainya. Inikah ajeg Bali yang didengungkan itu?
Maaf ngelantur!