Bhisama Kesucian Pura
Seperti kita ketahui, pura Kahyangan Jagat dibagi menjadi empat jenis yaitu Pura Kahyangan Jagat yang didirikan berdasarkan konsepsi Rwa Bhineda, Catur Loka Pala, Sad Winayaka dan Padma Bhuwana. Ada beberapa pura yang tergolong berfungsi rangkap, baik sebagai pura Rwa Bhineda, pura Catur Loka Pala maupun sebagai pura Sad Winayaka dan juga sebagai pura Padma Bhuwana.
Pura Besakih dan Pura Batur di Kintamani adalah pura yang tergolong pura Rwa Bhineda.
Pura Catur Loka Pala adalah Pura Lempuhyang Luhur di arah timur Bali, Pura Luhur Batukaru arah barat, Pura Andakasa arah selatan dan Pura Puncak Mangu arah utara.
Pura yang didirikan berdasarkan konsepsi Sad Winayaka ini umumnya disebut Pura Sad Kahyangan. Tidak kurang dari sembilan lontar menyatakan adanya Pura Sad Kahyangan. Namun setiap lontar menyatakan pura yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena saat itu Bali terbagi menjadi sembilan kerajaan. Tiap-tiap kerajaan memiliki Sad Kahyangan masing-masing. Ada yang sama dan ada juga yang tidak sama.
Pura Sad Kahyangan yang dinyatakan dalam Lontar Kusuma Dewa itu adalah Sad Kahyangan saat Bali masih satu kerajaan. Pura Luhur Uluwatu adalah salah satu pura yang dinyatakan sebagai Pura Sad Kahyangan dalam Lontar Kusuma Dewa dan juga beberapa lontar lainnya. Pura Luhur Uluwatu itu juga dinyatakan sebagai pura Padma Bhuwana yang berada di arah barat daya Pulau Bali.
Untuk menjaga agar Pura Kahyangan Jagat tersebut tetap lestari maka PHDI Pusat telah mengeluarkan Bhisama tentang Kesucian Pura. Bhisama Kesucian Pura tersebut dikeluarkan oleh PHDI Pusat tanggal 25 Januari 1994 adalah suatu produk untuk melanjutkan sistem beragama Hindu di Bali, khususnya tentang keberadaan Pura Kahyangan Jagat. Jarak keberadaan pura yang tergolong Kahyangan Jagat itu yakni desa pakraman terdekat dengan Kahyangan Jagat umumnya berjarak apeneleng agung (sekitar lima kilometer).
Kahyangan Jagat tersebut khususnya Kahyangan Jagat yang tergolong Kahyangan Rwa Bhineda, Kahyangan Catur Loka Pala, Pura Sad Kahyangan dan Pura Padma Bhuwana yang berada di sembilan penjuru Pulau Bali. Sedangkan Pura Kahyangan Jagat yang tergolong Pura Dang Kahyangan berjarak apeneleng alit kurang lebih dua kilometer. Sedangkan untuk Pura Kahyangan Tiga dan lain-lainnya dengan jarak apenimpug (ukuran jarak sejauh mana lemparan batu sebesar genggaman tangan laki-laki dewasa dapat dicapai) dan apenyengker (yang jaraknya minimum 50 meter untuk bangunan bertingkat dan 25 meter untuk bangunan tidak bertingkat).
Istilah-istilah apeneleng agung, apeneleng alit, apenimpug dan apenyengker semuanya itu adalah istilah yang terdapat dalam tradisi budaya Bali warisan leluhur umat Hindu yang sudah ada sejak berabad-abad. Tujuan utama Bhisama Kesucian Pura tersebut untuk menata keseimbangan perilaku manusia dalam memanfaatkan alam agar tidak semata-mata dijadikan sarana untuk kepentingan hidup sekala yang bersifat sementara. Pemanfaatan ruang di alam ini agar digunakan secara seimbang untuk memenuhi kebutuhan hidup yang bersifat sekala dan niskala dengan landasan filosofi Tri Hita Karana.
Bhisama Kesucian Pura ini dibuat untuk mencegah pelanggaran tentang keberadaan pura tersebut tidak berlangsung terus. Namun, bhisama ini adalah produk pandita melalui Pasamuan Sulinggih PHDI Pusat yang dibantu oleh Sabha Walaka dan Pengurus Harian PHDI Pusat. Bhisama ini adalah tergolong norma agama. Sanksi norma agama bagi pelanggar-pelanggarnya tergantung dari keyakinan umat pada ajaran agamanya.
Bhisama itu adalah penafsiran suatu ajaran agama yang belum jelas dan tegas dinyatakan dalam kitab suci Veda. Namun secara filosofis sudah tercantum dalam kitab suci. Dalam Manawa Dharmasastra XII.108 menyatakan, kalau ada hal-hal yang belum secara jelas dinyatakan dalam ajaran Veda (Dharma), maka yang berwewenang menentukan jawabannya adalah Brahmana Sista (Pandita Ahli). Ketentuan itu memiliki kekuatan legal.
Selanjutnya dalam Manawa Dharmasastra XII.110 dinyatakan bahwa apa pun yang telah ditetapkan oleh Brahmana Sista yang memegang jabatan di Parisada, memiliki kekuatan hukum yang sah, siapa pun sebaiknya tidak ada yang membantahnya.
Substansi bhisama adalah menjaga kawasan suci di areal pura agar jangan terjadi polusi dan vibrasi negatif. Kalau di sekitar pura sudah terjadi polusi dan vibrasi negatif karena terjadi berbagai kegiatan hidup yang tidak sesuai dengan norma agama yang diberlakukan di areal pura tersebut, apa lagi ditambah dengan lingkungan yang sudah terpolusi, dapat menyebabkan pura tidak lagi memancarkan kesucian dan kelestarian alam lingkungan.
Keberadaan pura dengan lingkungannya hendaknya ditata sedemikian rupa sehingga dapat dihadirkan sebagai fasilitas spiritual yang memadai. Dengan demikian pura dengan fasilitas spiritualnya dapat memberikan kontribusi spiritual yang lebih dalam kepada mereka yang sedang menjadikan pura sebagai media untuk mengembalikan daya spiritualnya. Karena itu, Bhisama Kesucian Pura membenarkan adanya berbagai fasilitas yang menunjang keberadaan pura sebagai media spiritual.
Yang dapat dibangun di sekitar pura seperti dharmasala dan pasraman dan bangunan-bangunan lainnya yang berfungsi untuk lebih mengeksistensikan keberadaan pura sebagai media untuk menguatkan aspek spiritual umat. Dharmasala adalah bangunan sebagai tempat menginap umat yang dari jauh yang ingin mengikuti berbagai kegiatan keagamaan di pura bersangkutan. Dharmasala ini dalam sistem pengelolaannya dapat saja memungut biaya kepada umat yang menginap sebagai biaya untuk memberikan pelayanan kepada umat bersangkutan.
Dharmasala bukanlah hotel sebagai tempat penginapan umum. Yang boleh menginap di dharmasala adalah mereka yang khusus akan mengikuti berbagai kegiatan keagamaan di pura bersangkutan. Sedangkan pasraman adalah suatu fasilitas yang menyediakan fasilitas pendidikan kerohanian untuk menyiapkan umat yang akan mengikuti berbagai kegiatan di pura bersangkutan. Di samping dharmasala dan pasraman dapat saja dibangun fasilitas lainnya di areal kesucian pura sepanjang hal itu menunjang eksistensi pura sebagai kawasannya sebagai media spiritual.
Dalam areal radius lima kilometer di Pura Luhur Uluwatu dengan Pura-pura Prasanak-nya itu dapat saja dibangun dharmasala dan pasraman. Apalagi dilengkapi dengan bangunan ”diorama” yang dapat memvisualisasikan berbagai nilai filosofi hidup yang dikandung oleh keberadaan Pura Luhur Uluwatu dengan Pura Prasanak-nya. Upaya itu tentunya amat positif, sepanjang dilakukan dan didahului dengan pengkajian yang mendalam. Hasil pengkajian tersebut dituangkan ke dalam program yang matang, baik untuk jangka pendek maupun untuk jangka panjang. Dengan demikian generasi sekarang akan memiliki komitmen spiritual untuk melanjutkan warisan leluhur yang amat mulia itu.
* wiana