Pura Bukit Jati di Samplangan Gianyar
Labhante brahmanirvana
rsayah ksinakalmasah
chinnadvanidha yatatmanah
sarvabhutahite ratah.
(Bhagawad Gita V.25)
Maksudnya:
Orang suci itu dosanya telah dimusnahkan, kebimbangannya telah dihilangkan, pikirannya telah mencapai keadaan yang tetap dan yang senantiasa melakukan kebajikan untuk menyejahterakan isi alam (Bhuta Hita) akan mencapai Brahmanirvana atau alam Ketuhanan.
Untuk mencapai peningkatan kesucian rohani tidaklah hanya melakukan sembahyang di pura saja. Penyucian diri juga akan dicapai apabila sembahyang itu dilanjutkan dengan senantiasa melakukan upaya-upaya nyata menjaga kesejahteraan isi alam. Misalnya dengan menjaga kelestarian lima unsur alam yang disebut Panca Maha Bhuta dengan segala makhluk hidup yang tumbuh berkembang dari Panca Maha Bhuta tersebut.
Mereka yang senantiasa melakukan upaya-upaya menyejahterakan kehidupan makhluk hidup tersebut kitab suci Bhagawad Gita menjanjikan jalan untuk mencapai Brahma Nirwana atau disebut sorga dalam istilah yang lebih umum. Lebih-lebih mereka yang memiliki kewenangan untuk memimpin publik seperti penguasa kerajaan pada zaman dahulu.
Demikian pula halnya saat awal kekuasaan Dinasti Ida Dalem Ketut Kresna Kepakisan di Bali yang pada awalnya berpusat di Samplangan di timur kota Gianyar. Pusat Kerajaan Dinasti Ida Dalem Kresna Kepakisan itu bernama Linggarsa Pura. Kata ”linggarsa pura” ini berasal dari bahasa Sansekerta dari kata ”lingga”, ”arsa” dan ”pura”. Lingga artinya stana atau di Bali disebut ”linggih”. Arsa artinya kemauan atau hasrat mulia, pura artinya tempat. Dengan demikian kata ”linggih pura” itu berarti tempat untuk menstanakan atau mengembangkan kemauan mulia.
Salah satu cara mengembangkan kemauan mulia sang raja adalah mengajak rakyat untuk memuja Tuhan sebagai langkah awal mengembangkan kehidupan yang mulia. Salah satu caranya dengan mendirikan tempat-tempat pemujaan Tuhan di tempat-tempat yang strategis. Tempat strategis itu adalah tempat untuk melestarikan alam dan memajukan kehidupan bersama dalam masyarakat berdasarkan Rta dan Dharma.
Demikianlah kebijaksanaan raja di Linggarsa Pura membangun pura dan meningkatkan kualitas dan kuantitas tempat-tempat pemujaan yang sudah ada. Seperti halnya di Bukit Jati di utara Desa Samplangan, Gianyar itu dikembangkan menjadi tempat pemujaan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat saat itu.
Pura Bukit Jati sebuah pura kuna yang berada di Desa Samplangan di timur kota Gianyar. Pura Bukit Jati ini terletak di bukit yang tidak terlalu tinggi dan sangat indah.
Bukit Jati ini tersembul muncul di daratan Gianyar sepertinya diciptakan untuk menjaga kebersihan dan kesejukan udara kota Gianyar. Di Pura Bukit Jati ini memang sebelumnya sudah ada beberapa peninggalan zaman magalitikum. Hal ini dapat dijadikan bukti bahwa tempat ini saat pemerintahan sebelum Dinasti Ida Dalem Ketut Kresna Kepakisan sudah menjadi tempat yang bernuansa spiritual.
Dinasti Dalem berkuasa tahun 1343 Masehi menggantikan Raja Bali Kuna yang terakhir yaitu Sri Astasura Ratna Bumi Banten. Dalam naskah lontar di Bali, Raja ini disebut Sri Tapolung. Sayang Samplangan sebagai pusat pemerintahan Ida Dalem tidak lama bertahan di Samplangan. Tahun 1380 Masehi pusat pemerintahan Dalem pindah ke Gelgel dengan nama Sweca Pura.
Meskipun demikian, Pura Bukit Jati sampai saat ini masih tetap dijadikan tempat pemujaan oleh umat Hindu. Di balik Pura Bukit Jati itu terdapat nilai-nilai kehidupan yang universal yang patut kita renungkan kembali untuk dijadikan landasan dalam menapaki kehidupan ke depan. Pura Bukit Jati adalah tempat pemujaan untuk memohon kemakmuran dan kesejahteraan alam lingkungan dan masyarakat. Di Pura Bukit Jati ini ada peninggalan arkeologi dalam bentuk makara yaitu arca kepala dengan fungsi tertentu. Misalnya ada arca Bhoma yang berfungsi untuk menggambarkan dewa pohon-pohonan. Kata ”bhoma” dalam bahasa Sansekerta artinya pohon. Di Pura Bukit Jati ini ada arca Jalandwara Makara.
Jalandwara berasal dari kata ”jal” artinya air dan ”dwara” artinya pintu. Jalandwara Makara itu simbol sakral untuk melancarkan jalannya air di bumi ini. Jalandwara Makara ini juga berarti tidak boleh mengotori air sehingga jalannya air ke tengah-tengah masyarakat itu dapat memberi kehidupan yang baik dan benar. Air dalam Canakya Nitisastra itu dinyatakan sebagai salah satu ”ratna permata bumi” di samping tumbuh-tumbuhan dan kata-kata bijak atau Subha Sita. Latar belakang spiritual keberadaan tempat pemujaan Bukit Jati dalam sistem sekte Siwa Pasupata itu dilanjutkan dalam sistem pemujaan Siwa Sidhanta.
Peninggalan megalitik dalam kebudayaan Hindu di Bali umumnya dipakai saat Hindu Sekte Siwa Pasupata yang berkembang di Bali, terutama yang menyangkut penggunaan arca sebagai murthi puja atau arca perwujudan. Saat Hindu Sekte Sidhanta yang berkembang simbol pemujaan digunakan sistem pelinggih dengan ista dewata tertentu. Di Pura Bukit Jati sekarang nilai-nilai universal sebagai tujuan pemujaan pada Tuhan itu tetap dilanjutkan dalam wujud yang berbeda.
Keberadaan berbagai pelinggih yang ada di Pura Bukit Jati tersebut sangat nampak melanjutkan nilai-nilai universalitas tersebut dengan simbol-simbol yang lebih lengkap sesuai dengan kebutuhan sistem pemujaan dalam Siwa Sidhanta.
Demikianlah memang proses pemeliharaan tradisi Hindu. Aspek Sanatana Dharma tetap tidak boleh berubah tetapi ada konsep Nutana yaitu ada proses peremajaan wujud sesuai dengan perkembangan zaman. Tetapi nilai yang diaplikasikan tetap yang kekal abadi dan universal sepanjang zaman. Di Pura Bukit Jati tersebut terdapat 26 bangunan suci.
Ada bangunan utama dan ada yang pelengkap. Bangunan sakral yang utama itu adalah Padmasana, Meru, Gedong Lebah, Pelinggih Manjangan Saluwang, Pelinggih Segara, Pelinggih Ratu Puncak, Pelinggih Ngerurah dan Pancoran. Semua bangunan sakral yang utama itu melanjutkan nilai spiritual sebelumnya untuk mengimplementasikan nilai-nilai kehidupan di Pura Bukit Jati itu. * I Ketut Gobyah
Sumber: http://www.balipost.co.id/balipostcetaK/2007/8/22/bd2.htm
Pages: 1 2