Arca Pandita dan Garuda di Pura Jenggala
Om Swastyastu,
Di Pura Jenggala atau Pura Hyang Haluh di samping terdapat pelinggih Gedong sebagai pelinggih utama, terdapat juga dua buah Pelinggih Balai Pepelik dan sebuah Pelinggih Bebaturan, serta sebuah Pelinggih Panggungan untuk meletakkan sesajen. Yang patut kita renungkan lebih dalam adalah adanya Arca Pandita atau Resi dan Arca Garuda. Mengapa arca-arca di Pura Jenggala itu begitu penting diketahui makna dan simboliknya?
Arca Pandita atau Resi di sini menggambarkan bahwa dalam kehidupan di dunia ini upaya untuk mengikuti tradisi kehidupan kepanditaan. Dalam Sarasamuscaya 40 yang dinyatakan sumber dari Dharma adalah Sruti atau Mantra Veda Sabda Tuhan. Smrti adalah hasil renungan dari para resi setelah mempelajari Mantra Veda. Dari Mantra Veda Sruti itulah para resi mengingat-ingat kembali apa yang dipelajari dari Weda.
Dari renungan itulah para Resi menyusun kitab-kitab Smrti agar umat pada umumnya lebih mudah mengamalkan Dharma intisari dari Weda tersebut. Isi dari Smrti itulah juga sumber dari Dharma pula. Seorang dapat disebut resi apabila sudah dapat mendalami isi Weda tersebut sampai ia disebut sang Sista. Kebiasaan hidup para Pandita Resi yang Sista itu juga disebut sebagai sumber Dharma. Seseorang akan dapat mengatasi gelombang hidup duka dan duka di dunia ini apabila ia senantiasa berpegang pada Dharma yang didapatkan dari Sruti, Smrti dan Sistacara.
Arti Sistacara ini adalah tradisi hidup pandita ahli. Pengertian ahli di sini bukan ahli seperti ilmuwan dewasa ini. Sista tersebut adalah pandita yang sudah berhasil menghayati dengan sempurna Dharma yang terdapat dalam Weda Sruti dan Weda Smrti. Bukti keberhasilannya itu akan tampak dalam kebiasaan hidupnya sehari-hari.
Kebiasaan hidup Pandita yang Sistacara itulah yang dapat dijadikan pedoman hidup untuk mengatasi hiruk-pikuknya gelombang suka dan duka. Orang yang dapat mengatasi suka duka itulah yang dapat disebut sudah mencapai Atmanastuti atau hidup dengan kepuasan Atman. Mereka selalu hidup bahagia meskipun ada dalam keadaan suka dan duka. Artinya hiruk-pikuk kehidupan di luar dirinya sudah tidak mampu mengintervensi jiwanya. Inilah yang disebut dengan Atmanstusti sebagai tujuan dari pengamalan Weda.
Hal ini juga dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra II.6. Sruti diamalkan menjadi Smrti atau Dharmasastra. Dari Smrti inilah terus dirumuskan ke dalam kitab-kitab Sila seperti Itihasa dan Purana. Dalam kitab tersebut Sila itu dijabarkan dalam wujud cerita yang mengandung nilai sejarah. Karena itu disebut Itihasa. Kata Itihasa dalam bahasa Sansekerta artinya sejarah. Sejarah pengamalan Dharma inilah yang dikaryasastrakan oleh para resi menjadi Itihasa dan Purana atau histori yang distorikan bagaikan karangan dalam bentuk roman sejarah.
Dengan adanya Arca Resi dan Pura Jenggala ini hendaknya umat dalam mengatasi gelombang suka dan duka dalam hidup di dunia ini melakukan Resi Yadnya. Dalam kitab Agastia Parwa Resi Yadnya dinyatakan: Resi Yadnya ngarania kapujang ring Sang Pandita muang sang wruh ring kalingganing dadi wwang. Artinya, Resi Yadnya namanya berbakti pada pandita dan paham akan hakikat diri sebagai manusia.
Agar kita dapat memahami hakikat diri hidup sebagai manusia rajinlah secara teratur membacakan kitab sastra suci karya para resi. Dengan rajin membaca kitab-kitab sastra suci itu kita akan mendapatkan pencerahan diri secara bertahap sampai kitab benar-benar paham akan hakikat hidup di dunia ini. Dengan pemahaman itu seseorang akan dapat menyelenggarakan hidup ini lebih elegan tak mudah diombang-ambingkan oleh hiruk-pikuknya zaman Kali ini.
Adanya Arca Garuda di Pura Jenggala ini juga menggambarkan bahwa garuda itu adalah nama dewa yang dinyatakan dalam Weda dengan sebutan Dewa Garutma. Tetapi Arca Garuda ini kemungkinannya diambil dari cerita Amerta Mantana atau ceritra Mandara Giri dari kitab Adi Parwa. Resi Kasyapa memiliki dua istri yaitu Dewi Winata dan Dewi Kadru. Dua istrinya ini diberikan dua buah telor untuk dikeram.
Ternyata telor yang diberikan kepada Dewi Kadru menetas menjadi ribuan naga. Karena diikat suatu perjanjian, Dewi Winata menjadi budaknya naga putra Dewi Kadru. Setelah Dewi Winata berputra Garuda barulah dia dapat membebaskan dirinya dari perbudakan naga karena digantikan oleh Garuda. Garuda juga dapat membebaskan dirinya dari perbudakan naga setelah mendapatkan Tirtha Kamandalu dari Batara Wisnu. Garuda mendapatkan air suci itu setelah bertempur dengan para dewa di sorga.
Puncak cerita Dewa Wisnu akan memberikan Tirtha suci tersebut kalau Garuda mau menjadi wahana atau kendaraan Dewa Wisnu. Garuda pun amat bersedia menjadi wahana Dewa Wisnu. Dengan Tirtha suci itulah Garuda dapat membebaskan dirinya dari perbudakan naga. Cerita tentang Garuda sesungguhnya cukup panjang diceritakan di kitab Adi Parwa.
Yang utama direnungkan adalah makna Arca Garuda dalam membebaskan dirinya dari perbudakan naga ini. Kata naga di samping berarti ular besar juga berarti dunia. Ini artinya manusia atau Atman kita akan dapat mencapai sorga apabila manusia dapat membebaskan diri dari perbudakan dunia yang fana ini. Ini bukan berarti kita harus hidup menjauhi dunia. Yang penting dunia ini jangan menjadi tujuan kita.
Dunia yang fana ini adalah alat atau media manusia mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia sekala dan niskala. Hal ini akan dapat dicapai apabila kita mendapatkan persatuan dengan Tuhan sebagai Garuda menjadi alat wahananya Dewa Wisnu. Tirtha Kamandalu itu adalah simbol suci untuk mencapai kehidupan yang baik, tidak melalui pengumbaran hawa nafsu. Justru kehidupan yang mulia itu dicapai dengan melalui pengendalian nafsu atau Kamandalu. Hidup bahagia itu bukan dengan pengumbaran hawa nafsu. Dengan itulah Sang Hyang Atma akan mendapatkan peningkatan terus di Para Loka sampai mencapai apa yang disebut Moksa Loka. Itulah tujuan tertinggi dari upacara Pitra Yadnya.
* wiana
Sumber: Bali Post