Pura Jenggala, Hulu Prajapati di Bali
Nityamewa sukham svarge sukham duhkhamilobhayam. Narake duhkhamevaitam mokse tu paraman sukham. (Sarasamuscaya 362)
Maksudnya:
Di Sorga Loka hanya kegembiraan yang dirasakan. Di dunia yang fana ini suka duka yang dirasakan silih berganti. Di neraka loka penderitaan saja yang dirasakan. Tetapi di Moksha Loka, kebahagiaan yang terluhur yang didapatkan.
Salah satu kompleks Pura Besakih ada yang bernama Pura Jenggala. Pura ini juga disebut oleh umat Pura Hyang Haluh. Pura ini terletak di sebelah kanan Candi Bentar Pura Panataran Agung di seberang jalan atau di sebelah utara jalan atau menurut pengelihatan umum di barat jalan berseberangan dengan Candi Bentar Pura Penataran Agung Besakih.
Mengapa pura ini bernama Pura Jenggala dan Pura Hyang Haluh, saya belum menjumpai sumber penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Apa ada hubungannya dengan Kerajaan Jenggala di Jawa Timur, hal tersebut sungguh masih sangat samar sekali.
Namun dari kata Hyang Haluh kemungkinan lain nama dari sebutan Ida Ratu Ayu. Kata Hyang artinya yang suci. Kata Haluh mungkin berasal dari kata Galuh yang menunjukkan identitas wanita cantik atau ayu.
Dengan demikian Hyang Haluh itu identik atau juga lain nama dari Ida Ratu Ayu. Pelinggih utama di Pura Jenggala atau Hyang Haluh ini adalah sebuah Gedong beratap ijuk sebagai tempat pemujaan Ida Ratu Ayu. Ida Ratu Ayu ini adalah salah satu manifestasi Siwa Durgha sebagai penguasa Setra.
Di setra desa pakraman umumnya disebut Sedahan Setra ada juga yang menyebut Siwa Bairawa. Pura Jenggala ini oleh Desa Pakraman Besakih difungsikan sebagai Pura Prajapati. Saat ada orang ngaben di pura inilah dilangsungkan upacara ngendagin atau ngebug tanah untuk membangunkan roh orang yang akan diaben. Caranya dengan memukul tanah tiga kali, tentunya dengan suatu ritual tertentu.
Upacara ini ada juga yang dipimpin oleh Pandita Dwijati. Memukul tiga kali ini adalah suatu simbol kebaikan atau kesucian. Tiga kali itu simbol tujuan prosesi upacara Pitra Yadnya untuk mengantarkan Atman yang meninggal dari Bhur Loka dan terus diharapkan mencapai Swah Loka. Dalam Lontar Gayatri dilukiskan bahwa saat orang itu meninggal Atman atau rohnya disebut Preta. Setelah diupacarai ngaben melalui Ngaskara maka rohnya disebut Pitara. Selanjutnya dengan upacara Atman Wedana seperti upacara Nyekah, Memukur atau Maligia maka Sang Hyang Atma sebutannya meningkat menjadi Dewa Pitara.
Saat roh masih dalam status Preta keluarganya belum mampu menyelenggara upacara ngaben maka roh yang disebut Preta itulah yang distanakan di Pura Prajapati. Sedangkan stana sementara Sang Roh adalah Sanggah Cukcuk yang umumnya ditancapkan di bagian hulu kuburan. Saat itulah ada upacara matur piuning atau permakluman dan permohonan kepada Sang Hyang Sedahan Setra yang berstana di Prajapati.
Kalau sudah saatnya akan melaksanakan upacara ngaben tiga hari sebelumnya ada proses upacara ada yang menyebut upacara ngendagin atau upacara ngebug tanah yang bertujuan memanggil sang roh yang masih dalam status Preta dengan permakluman atau atur piuning pada Sedahan Setra yang di Pura Jenggala disebut Ida Ratu Ayu lain sebutan dari Sang Hyang Siwa Durgha.
Jadinya Pura Prajapati itu adalah salah satu bagian dari simbol Para Loka tempat sementara sang Preta berada sebelum diupacarai oleh keluarganya yang masih hidup. Keberadaan Para Loka ini harus diyakini sebagai umat Hindu. Kalau tidak yakin pada keberadaan Para Loka ini menurut Sarasamuscaya 110 maka kita akan sengsara dalam hidup ini dan kelak.
Menurut Lontar tentang Pitra Yadnya seperti Yama Purana Tattwa menyatakan bahwa kalau roh yang masih berstatus Preta itu tidak distanakan di setra dengan Pura Prajapati sebagai hulunya maka sang roh akan menjadi apa yang disebut Atma Diyadiyu dan akan gentayangan ke desa-desa mengganggu kehidupan di dunia sekala. Mensatnakan roh yang masih berstatus Preta itu dilakukan dengan Tirtha Pengentas Tanem. Nanti kalau sudah ngaben akan dilanjutkan dengan Tirtha Pengentas Pemuput.
Demikianlah fungsi Pura Prajapati yang hulunya di Pura Jenggala di kompleks Pura Besakih. Kemungkinan istilah Jenggala ini berasal dari kata Jeng dan Gala. Jeng artinya sebutan kehormatan untuk wanita dan kata gala dalam bahasa Jawa kuno artinya lampu penerangan. Mungkin pula kata jeng itu berasal dari kata Rahajeng yang artinya rahayu atau selamat. Dan dari kata gala yang berarti lampu ini menjadi kata galang.
Dengan demikian tujuan dari permohonan kepada Sedahan Setra atau Ida Ratu Ayu ini agar roh yang masih Preta ini terus-menerus mendapatkan penerangan kerahayuan dari Tuhan yang disebut Ida Ratu Ayu atau Sedahan Setra. Dengan demikian istilah Jenggala adalah sebutan lain dari Ratu Ayu sebagai Dewi yang berfungsi memberikan penerangan kepada roh yang masih berada di bawah pengawasan Ida Ratu Ayu yang berstana di Pelinggih Gedong di Pura Jenggala itu.
Sebelum dilakukan upacara ngaben roh atau Preta yang berada di Setra mendapatkan penerangan di setra lewat Pura Prajapati. Karena saat masih hidup di dunia sekala ini manusia terus-menerus menghadapi gelombang suka dan duka. Barang siapa yang bisa tidak kacau atau dapat mengendalikan diri dalam gelombang suka duka di dunia sekala ini ialah dapat disebut manusia hidup berbahagia.
Dalam Bhagawad Gita II.15 ada dinyatakan Samaduhkham dhiram. Artinya, Seimbang dan teguhlah menghadapi suka dan duka. Karena di dunia ini hidup akan selalu menghadapi suka dan duka sebagaimana dinyatakan dalam kutipan Sarasamuscaya di atas.
Roh yang masih di setra di bawah pengawasan Sedahan Setra tersebut statusnya masih dalam proses menuju sorga atau neraka. Karena itu perlu diupacarai ngaben. Upacara ngaben itu hanya menambah karma baik dari sang roh kalau ngaben itu dilakukan dengan upacara Satvika Yadnya atau upacara yadnya yang berkwalitas. Tetapi kalau sebaliknya justru dapat menambah dosa. Karena yang paling menentukan adalah karma yang bersangkutan. Kalau lebih banyak karma buruk yang diperbuat upacara ngaben itu hanya menambah karma baiknya saja, sehingga karma buruknya sedikit berkurang. Hanya permohonan umat agar leluhur yang diaben mendapatkan sorga.*I Ketut Gobyah
Sumber: Bali Post