Denah dan Letak Pelinggih
Lokasi Dan Struktur Pura
Sekilas Tentang Pura Samuantiga
Kepada Bapak I WAYAN PATERA, ijinkalah kami mengucapkan terimakasih. Tulisan tetang Pura Samuantiga ini kami kutip dari buku karya bapak.
A. Lokasi dan Lingkungan Pura.
Lokasi pura Samuantiga sangat mudah dicapai dari segala penjuru baik dari kota Denpasar sebagai ibu kota Propinsi maupun dari kota-kota lainnya sebab jalan aspal yang menghubungkannya melintas di depan pura. Pura ini terletak di bagian timur laut Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, kurang lebih 400 meter sebelah timur Pura Goa Gajah yang sekarang menjadi salah satu tempat tujuan wisata utama di Bali. Jarak lokasi Pura Samuantiga dari Denpasar kira-kira 25 km, dan dari kota Gianyar atau Ubud tidak lebih dari 5 km.
Lingkungan di sekitar pura masih memperlihatkan suasana yang alami di depan pura berdiri bangunan Mandala Wisata yang didirikan oleh Pemerintah dengan ide awal sebagai sarana untuk menunjang dan mendorong aktifitas budaya Bali seperti pameran dan pertunjukkan hasil kesenian Bali. Bangunannya ditata dan dibangun sesuai dengan aturan arsitektur tradisional Bali dimaksudkan untuk dapat mendukung keserasian dan kemegahan Pura Samuantiga, namun sangat disayangkan karena tidak berfungsinya sebagian besar bangunannya karena telah mengalami kerusakan. Di sebelah barat pura terdapat lapangan yang dulunya berfungsi sebagai kolam kuna, terbukti dengan ditemukannya balok- balok batu yang tersusun rapi sepanjang tepinya sampai ke pekarangan rumah penduduk. Sedangkan di sebelah timur pura mengalir sungai kecil atau tukad oleh masyarakat setempat disebut tukad Jurang merupakan campuhan atau gabungan dari air tukad Pande dan tukad Tegending. Di sekitar pura tumbuh pohon-pehon besar seperti beringin, pole, kayu curiga bagaikan payung peneduh mengelilingi pura dan menambah keangkerannya.
B. Struktur Pura
Seperti telah disinggung di depan, pura yaitu tempat dan bangunan suci yang merupakan suatu Nyasa atau simbol sehingga bentuk dan strukturnya didasarkan atas konsepsi filosofis tertentu sebagai landasannya. Pada umumnya lanndasan filosofisnya berdasarkan pada kosmologi Hindu yang memandang, bahwa dunia ini terdiri dari susunan yang berlapis-lapis disebut loka dan tala. Sebagaimana replikasi dari makrokosmos pura dibagi menjadi beberapa halaman sebagai simbolik dari loka dan tala tersebut. Misalnya pura dengan dua halaman jaba dan jeroan sebagai simbol alam bawah dan alam atas dengan tiga halaman simbol tri loka yaitu bhur, bwah, dan swah loka dan begitu seterusnya. Di masing-masing halaman / mandala biasanya dilengkapi dengan bangunan seperti pelinggih, bangungan pelengkap dan penunjang. Pemisah masing-masing halaman ditandai dengan adanya bangunan tembok pembatas atau tembok penyengker dan kori agung serta candi bentar sebagai penghubungnya.
Di samping pembagian halaman secara horisontal dalam penempatan halaman sering diupayakan adanya perbedaan ketinggian tempat. Dalam keyakinan umat Hindu makin tinggi suatu tempat, memiliki tingkat kesucian yang makin suci. Maka tata letak masing-masing halaman yang dibatasi dengan tembok penyengker memperlihatkan perbedaan ketinggian.
Demikian pula halnya dengan struktur Pura Samuantiga yang menghadap ke selatan terdiri dari tujuh halaman / mandala tersusun dan jaba ke jeroan yang semakin meninggi yaitu :
- Mandala Jaba
- Mandala Penataran Agung
- Mandala Duur Delod
- Mandala Beten Kangin
- Mandala Batan Manggis
- Mandala Samenggen
- Mandala Jeroan
Untuk lebih jelasnya lihat denah terlampir. Di masing-masing mandala terdapat bangunan-bangunan kecuali di jaba hanya ada bangunan pemedek. Adapun bangunan di setiap mandala seperti terurai terlampir. Pura Samuantiga dengan strukturnya itu terkait erat dengan keberadaan pura-pura lainnya yang berada di sekeliling Pura Samuantiga sebagai pura Lawa/ Dikpala Pura- pura tersebut antara lain
- Pura Bukit terletak di sebelah Timur
- Pura Celanggu terletak di sebelah Selatan
- Pura Batan Jeruk/ Margibuung di sebelah Barat
- Pura Santrian di sebelah Utara
- Pura Pasar Agung dan Melanting di sebelah Timur
- Pura Dalem Puri di sebelah Timur
- Pura Geduh di sebelah Timur
- Tegal Penangsaran di sebelah Timur
Denah Detail A
51 Bale Pelik
52 Bale Pelik
53 Pelinggih Lingga - Yoni
54 Pelinggih Bhatara Gangga
55 Pelinggih Sedahan Tumpeng
56 Pelinggih Tepasana Rong Tiga / Penyawangan Gunung Agung
57 Pelinggih Rambut Sedana
58 Pelinggih Betara Segara
59 Piyasan / Linggih Panetegan
60 Pelinggih Kemimitan
61 Pelinggih Ratu Ngurah agung
62 Pelinggih Bale Mudra
63 Pelinggih Bale Ongkara / Pajeng
64 Pelinggih Bale Padma
65 Pelinggih Menjangan Sluwang
07 | Bale Angklung |
31 | Bale Pelik |
32 | Bale Pelik |
33 | Pelinggih Sedahan Pemiak Kala |
34 | Pelinggih Sedahan Nglurah Agung |
35 | Pelinggih Sedahan Kulkul |
36 | Panggungan Batan Manggis |
37 | Bale Panitia |
38 | Bale Kulkul |
39 | Bale Panyanggra |
40 | Piyasan Sumanggen |
41 | Piyasan Sumanggen |
42 | Piyasan Sumanggen |
43 | Bale Angklung |
44 | Gedong Pesimpenan |
45 | Pesimpenan Ratu Agung |
46 | Pengaruman |
47 | Pelinggih Ratu Paselang |
48 | Bale Pangompolan Sekar |
49 | Bale Panggungan |
50 | Pelinggih Ibu |
66 | Pelinggih Bhatara Kentel Gumi |
67 | Pelinggih Gedong Melanting |
68 | Pelinggih Bhatara Gunung Agung |
69 | Pelinggih Prakangge |
70 | Pelinggih Luhuring Angkasa |
71 | Pelinggih Gunung Lebah |
72 | Pelinggih Peliangan |
73 | Pelinggih Kemimitan |
74 | Pelinggih Gedong Pesimpang |
75 | Pelinggih Gedong Betel |
76 | Pelinggih Gedong Pesaren |
77 | Pelinggih Gedong Pesimpenan |
78 | Pelinggih Gedong Pesimpenan |
79 | Pelinggih Taksu Agung |
80 | Pelinggih Mundar Mandir |
Denah Detail B
1 | Bale Gong |
2 | Pelinggih Ratu Sedahan Pengaksian |
3 | Bale Danapunia |
4 | Bale Panjang |
5 | Bale Pemiyosan |
6 | Pelinggih Tirta Lanang |
7 | Bale Angklung |
8 | Pesimpenan Sekar |
9 | Bale Pegat / Penggungan |
10 | Bale Paselang |
11 | Pura Lumbung / Rambut Sedana |
11a | Pelinggih Ulun Danu |
11b | Pelinggih Rambut Sedana |
11c | Pelinggih Segara |
12 | Panggungan Pura Anyar |
13 | Bale Agung |
14 | Pelinggih Ratu Tirta Empul |
15 | Pengaruman Ratu Celangu |
16 | Pengaruman Gunung Agung |
17 | Pengaruman Agung |
18 | Pelinggih Ratu Manca Tiga (Sempidi, Segunung, Panasan) |
19 | Pelinggih Ratu Sedahan Babah |
20 | Pelinggih Ratu Batur Sari |
21 | Pelinggih Ratu Bintang |
22 | Pelinggih Ratu Agung Sakti |
23 | Bale Penangkilan |
24 | Pelinggih Ratu Mayun & Ratu Alit |
25 | Pelinggih Ratu Sedahan Atma, Ratu Pasek, Ratu Pande |
26 | Panggungan |
27 | Pelinggih Sedahan Cor |
28 | Pelinggih Ratu Lingsir / Kompiang |
29 | Pelinggih Ratu Agung Panji |
30 | Panggungan Beten Kangin |
Sejarah Singkat Pura
Sejarah pendirian Pura Samuantiga yang bersumber dari data tertulis seperti halnya prasasti, prakempa, purana atau pun babad sampai saat ini belum banyak diketemukan. Minimnya sumber tertulis yang khususnya menguraikan tentang keberadaan Pura Samuantiga mungkin disebabkan berbagai faktor antara lain: panjangnya perjalanan waktu yang telah dilewati sehingga sangat memungkinkan adanya data- data yang hilang. Di samping itu tradisi penulisan segala sesuatu berkaitan dengan keberadaan suatu peristiwa atau pura belum membudaya di masa lalu. Maka tidaklah berlebihan bila dalam menelusuri kembali sejarah pura Samuantiga berbagai sumber data penunjangnya sekecil apapun serta walaupun bersifat fragmentaris masih relevan untuk dikaji.
Sebagai tonggak awal ada baiknya kita simak sejenak isi lontar Tatwa Siwa Purana, khususnya lembar 11 yang berkaitan dengan penyebutan pura Samuantiga antara lain disebutkan :
".......... Samalih sapamadeg idane prabu Candrasangka, mangwangun pura saluwire : Penataran Sasih, Samuantiga, hilen-hilen rikala aci, nampiyog nganten, siyat sampian, sanghyang jaran nglamuk beha, mapalengkungan siyat pajeng, pendet, hane bale pgat, pgat leteh".
>> Terjemahan bebasnya:
".......... Dan lagi semasa pemerintahan beliau Prabu Candrasangka, membangun pura antara lain : Penataran Sasih, Samuantiga, tari-tarian di saat upacara, nampiyog nganten, siyat sampian, sanghyang jaran menginjak bara, mapalengkungan perang payung (pajeng) pendet dan ada balai pegat penghapus ketidak sucian (leteh)".
Dari uraian lontar Tatwa Siwa Purana di atas disebutkan bahwa pura Samuantiga dibangun pada masa pemerintahan raja Candrasangka, Penulisan Lontar Tatwa Siwa Purana dan lontar-lontar lainnya ini mungkin sebagai upaya penulisan kembali berbagai tradisi kepercayaan sejarah lokal dan hal-hal lainnya. Kemungkinan itu sangat besar karena bila kita telusuri dari kronologi pemerintahan raja-raja di Bali, tidak ada raja yang bernama Candrasangka namun yang ada adalah Candrabhayasingha Warmadewa disebutkan dalam prasastinya yang sekarang tersimpan di pura Sakenan Manukaya Tampaksiring, berisi tentang pembuatan telaga/pemandian suci yang disebut Tirta di Air Hampul (Sutterheim,1929: 68-69).
Bila mana prabu Candrasangka seperti disebutkan dalam lontar Tatwa Siwa Purana sama atau nama lain dari raja Candrasangka Warmadewa seperti disebutkan dalam prasasti Manukaya yang berangka tahun 962 masehi, maka dapatlah dikatakan bahwa pura Samuantiga dibangun sejaman dengan pura Tirta Empul yaitu sekitar abad X. Pembangunan pura Samuantiga pada abad X kiranya dalam rangka penerapan konsepsi keagamaan pada masa Bali Kuna, seperti dikatakan R. Goris dimana setiap kerajaan harus memiliki tiga pura utama yaitu Pura Gunung, Pura Penataran dan Pura Segara/laut. Pura Tirta Empul sebagai pura Gunungnya dan pura Samuantiga sebagai pura Penataran yaitu pura yang berada di pusat kerajaan. Seperti dimaklumi para ahli memperkirakan pusat pemerintahan pada masa Bali Kuna berada. di sekitar Desa Bedulu karena banyak diketemukan tinggalan arkeologi (arca-arca, tempat pertapaan) bahkan berlangsung sampai masa Majapahit seperti disebutkan dalam Negarakertagama bahwa pusat pemerintahan Bali berada di Badahulu dekat Lwah Gajah. Sehingga tidaklah berlebihan bila diasumsikan bahwa pura Samuantiga pada abad X merupakan pura Penataran dan kerajaan Bali Kuna yang berlokasi di pusat pemerintahan yang dalam beberapa sumber lokal disebut Bata Anyar.
Dari uraian lontar Tatwa Siwa Purana tersebut akan memunculkan pertanyaan, apakah nama Samuantiga itu merupakan nama dari sejak berdirinya ?. Hal ini penting sekali karena pemberian nama pada suatu hal menurut tradisi masyarakat Bali biasanya dihubungkan dengan tujuan tertentu atau untuk memperingati suatu peristiwa yang sangat bermakna dalam suatu proses kebidupan. Untuk menjawabnya perlu disimak sejenak makna kata Samuatiga secara etimologi. Kata Samuantiga terdiri dari perpaduan kata "Samuan" dan "Tiga". Samuan berasal dari kata Samua berarti pertemuan penyatuan, sangkep dan Tiga berarti atau menunjuk pada bilangan tiga. Dengan demikian Samuantiga berarti pertemuan/penyatuan dari tiga hal atau musyawarah segitiga (Soebandi 1983 : 62).
Untuk lebih jelasnya ada baiknya kita simak isi lontar Kutaca Kanda Dewa Purana Bangsul, terutama pada bagian yang menguraikan tentang Samuantiga sebagai berikut:
"........... Ri masa ika hana malih hakyangan kang maka ngaran kahyangan Samuantiga, ika maka cihna mwah genah ira kang para Dewa-Dewata Bhatara-Bhatari mwah kang para Resi ika makabehan paum duking masa ika, kang ingaranan pura Samuantiga ri mangke".
>> Terjemahannya:
.......... pada masa itu ada lagi kahyangan (tempat suci) yang bernama Kahyangan Sarnuantiga, itu sebagai tanda dan tempat dimana para Dewa dan Dewata, Bhatara-Bhatari dan lagi para Rsi (Pendeta) seluruhnya rapat (musyawarah) pada masa itu dinamai pura Sarnuantiga sampai sekarang".
Dari uraian lontar di atas, menunjukkan bahwa pemberian. nama Sarnuantiga terkait dengan adanya suatu peristiwa penting (ika maka cihna mwah genah) yaitu adanya musyawarah tokoh-tokoh penting dalam suatu sistem pemerintahan pada masa Bali Kuna. Pelakaanaan musyawarah tokoh-tokoh setitiga diperkirakan berlangsung pada masa pemerintahan raja suami istri Udayana Warmadewa bersama permaisurinya Gunapriyadharmapatni yang memerintah sekitar tahun 989 - 1011 masehi. Hal tersebut antara lain diseebutkan dalam Babad Pasek sebagai beikut:
".........nguni duk pamadegan Cri Gunapriyadharmapatni Udayana Warmadewa, hana pasamuan agung Çiwa Budha kalawan Bali Aga, ya hetunya hana desa pakraman mwang kahyangan tiga maka kraman ikang desa para desa Bali Aga". ~
>> Terjemahannya:
.........dahulu kala pada saat bertahtanya Çri Gunapriyadbarmapatni dan suaminya Udayana Warmadewa, ada musyawarah besar Çiwa Budha dan Bali Aga itulah asal mulanya (sebabnya) ada desa pekraman dan Kahyangan Tiga sebagai tatanan kehidupan dan masing-masing desa Bali Aga (Ardana, 1989: 11).
Dari uraian kedua lontar di atas menunjukkan babwa pura Samuantiga merupakan tempat pertemuan dan musyawarah tokoh- tokoh agama pada masa pemerintahan Gunapriyadharmapatni dan Udayana yang berhasil memutuskan suatu kemufakatan untuk penerapan konsepsi Tiri Murti melalui terbentuknya desa Pekraman dengan Kahyangan Tiganya.
Suksesnya pelaksanaan musyawarab tokoh-tokoh agama yang berhasil menyepakati suatu keputusan yang bersifat monumental bagi perkembangan agama Hindu di Bali, secara tradisional diyakini tidak terlepas dari peranan penting tokoh legendaris Mpu Kuturan sebagai senopati dan pemimpin lembaga majelis pemerintahan pusat yang diberi nama Pakira-kiran ijro Makabehan. Pelaksanaan musyawarah besar tersebut mungkin karena adanya suatu kondisi sosial keagamaan yang perlu segera ditangani agar tercapainya ketentraman dalam kehidupan masyarakat.
Seperti disebutkan oleb R. Goris pada masa Bali Kuna berkembang suatu kehidupan keagamaan yang bersifat sektarian. Ada sembilan sekte yang pernah berkembang pada masa Bali Kuna antara lain sekte Pasupata, Bhairawa, Siwa Shidanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya. Diantara sekte-sekte tersebut Çiwa Sidhanta merupakan sekte yang sangat dominan (Ardhana 1989:56). Masing-masing sekte memuja Dewa-Dewa tertentu sebagai istadewatanya atau sebagai Dewa Utamanya dengan Nyasa (simbol) tertentu serta berkeyakinan bahwa istadewatalah yang paling utama sedangkan yang lainnya dianggap lebih rendah.
Berkembangnya keyakinan yang bersifat sektarian berpotensi memunculkan ketegangan dan konflik dalam kehidupan sosial keagamaan dan akhirnya akan dapat berpengaruh terhadap stabilitas suatu negara. Menyadari keadaan yang kurang stabil akibat berkembangnya berbagai sekte, maka raja suami istri Gunapriyadharmapatni dan Udayana berusaha untuk mengatasinya melalui musyawarah dan mendatangkan beberapa tokoh rohaniawan baik dari Bali maupun Jawa Timur.
Karena Gunapriyadharmapatni adalah putri raja Makutawangsawardana dari Jawa Timur, maka beliau sangat mengenal Tokoh-tokoh rohaniawan dari Jawa Timur yang diperkirakan dapat mencarikan jalan keluar dalam menghadapi berbagai gejolak.
Pada waktu itu di Jawa Timur terkenal ada 5 Pendeta bersaudara yang sering dijuluki "Panca Pandita" atau Panca Tirta. Kelima Pendeta bersaudara itu ialah :
Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, Mpu Gnijaya dan Mpu Baradah, Empat di antara kelima Pendeta itu didatangkan ke Bali secara berturut-turut yaitu:
- Mpu Semeru datang di Bali pada tahun saka 921 (999m) berparhyangan di Besakih.
- Mpu Ghana datang pada tahun saka 922 (1000) beparhyangan di Gelgel.
- Mpu Kuturan datang pada tahun saka 923 (1001) berparhyangan di Cilayuti Padangbai.
Kemudian Mpu Gnijaya datang pada tahun saka 928 (1006) berparhyangan di Lempuyang (Bukit Blibis) (Soeka, 1986 :5).
Mengingat pengalaman Mpu Kuturan yang pernah menjadi Kepala Pemerintahan di Girah dengan sebutan Nateng Dirah, maka diangkatlah Beliau sebagai Senopati dan sebagai Ketua Majelis Pakira-kiran ijro Makabehan oleh Gunapriyadharmapatni. Melalui posisi yang dipegang itulah Mpu Kuturan melaksanakan musyawarah bagi sekte keagamaan yang berkembang di Bali bertempat di Pura Penataran yang kemudian untuk memperingati peristiwa besar tersebut puranya diberi nama Samuantiga. Sejak itulah kemungkinan nama pura Samuantiga tetap terpakai seperti disebutkan dalam lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul di atas.
Kedatangan Mpu Kuturan ke Bali menjadi tonggak pemersatu sekte-sekte Hindu yang pernah berkembang dan didominasi oleb sekte Siwa Sidhanta. Untuk menyatukan semua sekte Mpu Kuturan memperkenalkan konsep Tri Murti yang di Jawa dimanifestasikan dalam bentuk Candi seperti Candi Loro Jonggrang (Prambanan) dimana melalui Candi tersebut di puja Dewa Brahma, Wisnu dan Çiwa dengan bangunan candi tersendiri.
Konsep Tri Murti yang diperkenalkan oleh Mpu Kuturan kemudian diterapkan dalam pola Desa Pekraman dengan pendirian pura Kahyangan Tiganya untuk sebuah desa. Bagi setiap keluarga diterapkan pembangunan Sanggar Kemulan Rong Tiga dengan didukung berbagai pedoman kehidupan keagamaan lainnya. Mpu Kuturan disamping ahli dalam Rajaniti (hukum pemerintahan) Beliau Juga sebagai tokoh yang sempurna dalam falsafah keagamaan sebagai arsitektur agung yang berlandaskan ajaran agama terutama dalam penataan pura-pura di Bali) termasuk Besakih. Di dalam lontar Raja Purana tertera ajaran Mpu Kuturan dalam penataan kehidupan keagamaan sebagai berikut:
........ Ngararis nangun catur agama, catur lokita bhasa, catur sila makadi ngawangun sanggah kamulan) ngawangun Kahyangan Tiga: Pura Dalem, Puseh mwang Bale Agung,
>> Terjemahannya:
........ Selanjutnya (Mpu Kuturan) menerapkan empat peraturan agama, empat cara berbahasa, empat ajaran pokok dalam kesusilaan, termasuk membuat Sanggah Kemulan, Kahyangan Tiga : Pura Dalem, Puseh dan Bale Agung (Nala, 1997:3-6).
Dan uraian singkat di atas dapatlah disimpulkan bahwa pura Samuantiga yang kita kenal sekarang ini telah mengalami proses sejarah yang cukup panjang dan pengembangan struktur pura sesuai dengan tuntutan jaman. Pendirian pura ini pada awalnya adalah sebagai pura Penataran masa Bali Kuna, kemudian dijadikan tempat perternuan tokoh-tokoh agama khususnya Ciwa Budba dan Bali Aga yang berhasil menyepakati penerapan konsep Tri Murti dalam kehidupan Desa Pekraman dan rumah tangga di Bali. Secara sosial hal ini sebagai media pemersatu bagi seluruh umat yang berlandaskan rasa kebersamaan dan bhakti sehingga terwujudlah kesukertaan di masing-masing Desa. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa pura Samuantiga merupakan cikal bakal dari adanya Desa Pekraman dan Kahyangan Tiga sebagai penerapan konsep Tri Murti di Bali.
Di samping makna sejarah seperti di uraikan di atas kata Samuantiga dapat pula ditelusuri melalui makna filosofinya yang juga berarti bahwa sejak adanya musyawarah tersebut terjadi peningkatan kwalitas kehidupan beragama khususnya dalam hal pemahaman filsafah agamanya.
Dari pemujaan pada istadewata yang berdiri sendiri menuju pada pemujaan Tuhan /lda Sanghyang Widhi melalui ketiga aspeknya yaitu Tri Murti sebagai satu kesatuan yang tebih dikenal sebagai bersifat eka-aneka, Hal ini merupakan proses, rekonsiliasi atau revitalisasi dalam kehidupan keagamaan Hindu di Bali.
Penyempurnaan kehidupan beragama di Bali memang senantiasa terus tumbuh berkembang, namun senantiasa dilaksanakan secara damai dan musyawarah dengan kedatangan berbagai tokoh agama seperti Mpu Lutuk, Danghyang Nirarta dan lain-lainnya.
Beliau-beliau inilah melakukan penataan kembali secara bertahap dan bersifat akomodatif yang berarti tidak mengabaikan tradisi yang sudah tumbuh dan berkembang secara baik, Peristiwa dan tokoh-tokoh agama yang telah berhasil menata kehidupan keagamaan di Bali sepatutnya dijadikan contoh dan suri tauladan dalam kehidupan keagamaan sekarang ini sehingga dapat terciptanya konsolidasi yang mantap dalam kehidupan masyarakat (Ida Pedanda Putra Kemennh. 1977: 8-9). Keberadaan pura Samuantiga terus tumbuh dan berkembang dengan segala pasang surutnya sesuai dengan perkembangan kehidupan sosial budaya umat Hindu di Bali. Setelah Bali memasuki kehidupan dalam sistim kerajaan keberadaan pura Samuantiga menjadi tanggungjawab raja-raja Bali melalui pengenaan pajak tiga sana atau sawinih kepada seluruh petani atau umat Hindu di Bali. Menurut informasi Gusti Agung Gede Putra (almarhum) kerajaan Mengwi pada sekitar tahun 1817 pernah melaksanakan upacara besar di pura Samuantiga.
Pada masa selanjutya, sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat keberadaan pura Samuantiga menjadi tanggung iawab Raja Gianyar. Namun suatu hal tanggung jawab tersebut kemudian dilimpahkan kepada keluarga Pemangku untuk memelihara dan melaksanakan upacara di pura Samuantiga melalui hasil laba pura. Karena hasil laba pura tidak memadai, tanggung jawab tersebut kemudian diserahkan kepada masyarakat sekitar tahun 1963 yang kemudian dibentuk kepanitian di bawah pimpinan I Wayan Limbak. Masyarakt pengemong terdiridari 6 Desa Adat atau 12 Banjar, namun sebagai penyungsung terdiri dari seluruh umat Hindu dimanapun mereka berada Hal ini karena pura Samuautiga seperti disebutkan di atas sebagai pura Kahyangan Jagat yaitu sebagai cikal bakalnya Pura Kahyangan Tiga di setiap Desa pekraman dan pemerajan di setiap keluarga sebagai tempat memuja Dewa Tri Murti manifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Piodalan / pujawali / Patoyan
Soma Keliwon
- Pura Dasar Buana,Klungkung
- Pura Kahyangan Tulus Dewa,Marga Tabanan
- Pura Kahyangan Tulus Dewa,Apuan Bangli
- Pura Pemerajan Agung,Benawah Kangin Gianyar
Saniscara Keliwon
- Pura Ulun Kukul, Besakih Karangasem
- Pura Pekedungan, Kediri Tabanan
- Pura Bukitjati, Guliang Bangli
- Pura Sadha, Kapal Badung
- Pura Sakenan, Serangan Denpasar
- Pura Taman Pule, Bedahulu Gianyar
- Pura Samuan Tiga, Bedahulu Gianyar
- Pura Luhuring Gunung Dewangga, Sideman Karangasem
- Pura Dalem Bekak, Mengwi Badung
- Pura Penataran Pande, Kusamba Klungkung
- Pura Ularan, Takmung Klungkung
- Pura Dalem Tegeha, Batubulan Gianyar
- Pura Dalem Guang, Sukawati Gianyar
- Pura Dalem Tenggaling, Guliang Bangli
- Pura Dukuh Tektek, Peguyangan Denpasar
- Pura Dalem Agung Sri Nararya Kresna Kepakisan, Dukuh Gelgel Klungkung
Pura Desa Munggu, Mengwi Badung