Pura Bangun Sakti

Ato deva avantu no.
yato visnur vicakramk
prthivyah saptadhamadhih.
(Rgveda I.12.16).

Maksudnya:

Terdapat tujuh lapisan bumi, kemahakuasaan Tuhan bertempat tinggal pada bagian-bagian dalam bumi dan menciptakan perubahan-perubahan di tujuh lapisan bumi itu semoga para dewa dengan bahan-bahan tersebut melindungi kita.


 

PURA ini terletak di sebelah kanan jalan kurang lebih 600 meter menuju Pura Penataran Agung Besakih. Mengapa pura ini diberi nama Pura Bangun Sakti. Hal ini belum begitu jelas. Tetapi dari segi arti kata bangun sakti artinya kekuatan hidup. Demikian menurut Drs. I Gst. Agung Gede Putra (alm), mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI.

Fungsi pura ini sebagai media pemujaan Tuhan sebagai dewanya tanah zat padat yang menjadi kulit bumi ini. Karena itu di pura ini Tuhan dipuja dengan sebutan Sang Hyang Ananta Bhoga. Arti kata Sang Hyang Ananta Bhoga adalah beliau yang suci sumber makanan yang tidak habis-habisnya. Kata Sang Hyang artinya beliau yang suci. Ananta artinya tidak habis-habis, sedangkan Bhoga artinya makanan.

Dalam ajaran Hindu manusia membutuhkan tiga jenis kebutuhan yaitu Bhoga artinya makanan, Upabhoga artinya sandang dan Paribhoga artinya rumah dengan segala perlengkapannya. Di Pura Bangun Sakti, Tuhan dipuja sebagai dewanya tanah sumber makanan yang tidak habis-habisnya atau terus-menerus. Pengertian tanah dalam hal ini dalam artian yang luas, seperti batu-batuan, pasir, debunya dan juga zat zair yang ada di dalam bumi tersebut.

Di pura ini adalah dua bangunan utama yang berbentuk Gedong Simpen dan Pelinggih Dasar Sapta Patala. Gedong Simpen adalah bangunan suci atau pelinggih yang bertiang empat beratap ijuk. Pelinggih dasar Sapta Patala adalah berbentuk bebaturan di atasnya distanakan patung Naga Ananta Bhoga yang juga disebut Sapta Patala.

Menurut pengertian sastra suci Hindu, tanah kulit bumi ini terdiri atas tujuh lapisan. Karena itu disebut Sapta Patala. Sapta artinya tujuh dan patala artinya lapisan bumi ke bawah. Sedangkan tujuh lapisan langit ke atas disebut Sapta Loka. Pura Bangun Sakti ini sebagai hulu semua Pelinggih Sapta Patala di berbagai pura yang ada di seluruh Bali. Pelinggih Sapta Patala umumnya dibangun di pura keluarga maupun Pura-pura umum di Bali. Hal ini untuk mengingatkan umat Hindu agar menjaga kelestarian tanah sebagai kulit bumi.

Pemujaan Tuhan sebagai Sang Hyang Ananta Bhoga memiliki makna untuk memotivasi umat Hindu agar senantiasa memelihara kelestarian tanah agar terus-menerus menjadi sumber berkembangnya tumbuh-tumbuhan sebagai bahan makanan dan bahan obat-obatan secara terus-menerus atau ananta bhoga. Hal ini seharusnya memotivasi umat manusia untuk tidak mengusik kelestarian tanah.

Kalau tanah tidak lestari akan terjadi krisis pangan. Karena itu barang siapa yang mengusik kelestarian tanah menjadi sumber makanan yang tidak habis-habisnya, ia pun sesungguhnya berdosa pada Tuhan. Karena Tuhanlah yang menciptakan tanah menjadi sumber makanan terus-menerus. Kalau kelestariannya diusik maka tanah itu akan berhenti menjadi sumber makanan. Pemujaan Tuhan sebagai Sang Hyang Ananta Bhoga harusnya dimaknai dengan langkah nyata menjaga agar tanah terus subur menjadi tempatnya tumbuh-tumbuhan berkembang subur.

Dalam Lontar Pamancangah ada dinyatakan bahwa di Pura Bangun Sakti inilah Mpu Sidhi Mantra mengumpulkan abu jenazah putranya yang bernama Manik Angkeran. Dalam lontar tersebut diceritrakan bahwa Mpu Sidhi Mantra seorang pandita yang berasal dan Jawa Timur.

Beliau memiliki seorang putra bernama Manik Angkeran. Putranya itu terus disekolahkan di Bali belajar pada Sang Hyang Naga Basukih dan bertempat tinggal di Besakih. Ternyata Manik Angkeran bukan berkonsentrasi belajar dan berlatih kerohanian. Manik Angkeran malahan menyimpang dari tujuan ayahnya menyekolahkan di Bali. Manik Angkeran kepincut pada judian.

Karena kehabisan uang dia tergoda melihat ujung ekor Naga Basukih menggunakan hiasan emas bertahta permata mulia yang mahal-mahal. Karena bingung kehabisan uang maka diam-diam ujung ekor Naga Basukih yang berhiaskan emas itu dipotongnya akan digunakan untuk berjudi. Karena kedurhakaannya itu Naga Basukih marah dan dari lidahnya mengeluarkan api.

Api yang memancar dari lidah Naga Basukih terus disemprotkan ke arah Manik Angkeran yang sudah telanjur memotong ujung ekor Naga Basukih. Manik Angkeran pun hangus terbakar menjadi abu. Kejadian ini diketahui oleh Mpu Sidhi Mantra di Jawa, terus beliau pun bergegas berangkat dari Jawa menuju Bali. Sesampai di Bali, Mpu Sidhi Mantra memohon maaf sebesar-besarnya kepada Sang Hyang Naga Basukih. Naga Basukih pun bersedia memaafkan dan dipersilakan Mpu Sidhi Mantra menghidupkan kembali putranya.

Akhirnya, abu jenazah Manik Angkeran pun dihidupkan kembali di Pura Bangun Sakti. Manik Angkeran dinasihati oleh Mpu Sidhi Mantra agar menghentikan kebiasaannya berjudi itu. Karena sangat tegas dan jelas Veda Sruti Sabda Tuhan itu melarang umatnya berjudi. Sejak itu Manik Angkeran sadar dan tidak lagi mengembangkan kebiasaannya berjudi. Manik Angkeran pun menjadi putra yang sangat baik seperti amat patuh pada gurunya dan ayahnya.

Apalagi dalam Manawa Dharmasastra II.233 menyatakan ia yang berbakti pada ibunya mendapat pahala berupa kebahagiaan di bumi, berhakti pada ayahnya mendapatkan pahala kebahagiaan di alam tengah, dengan berbakti pada guru kerohaniannya akan mencapai Brahma Loka. Berbakti pada tiga orang itulah yang dilakukan oleh Manik Angkeran sehingga ia dari kuputra menjadi suputra. Maksudnya dari anak yang tidak baik menjadi anak yang suputra.

Selanjutnya Manik Angkeran karena keberhasilan beliau mengubah diri itu dipercaya menjaga dan merawat Pura Besakih oleh Sang Hyang Naga Basukih. Kewajiban itu dilaksanakan oleh Manik Angkeran dengan patuh sampai dengan keturunannya sampai sekarang. Perubahan yang amat luar biasa itu terjadi di Pura Bangun Sakti berkat kesaktian Naga Basukih dan Mpu Sidhi Mantra. Hal itulah kemungkinannya pura ini disebut Bangun Sakti.

Sang Hyang Naga Basukih dalam mitologi disebut membakar Manik Angkeran. Mungkin bukan dibakar secara fisik, mungkin mitologi sebagai simbol sebagai pembakaran dengan Jnyana Agni dosa Manik Angkeran karena berjudi sampai memotong ekor emas Sang Hyang Naga Basukih. Dalam diri Sang Hyang Ananta Bhoga itu terdapat kemahakuasaan Tuhan sebagai Dewa Brahma, dan juga Dewa Wisnu sebagai Dewa Baruna. Karena itu lapisan bumi ini terus-menerus harus dilindungi hak asasi alaminya oleh umat manusia dengan berbagai upaya, baik sekala maupun secara niskala.

* i ketut gobyah

Sumber: http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2007/4/11/bd2.htm

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *