Pura Banua Kawan

Makna di Balik Simbol Pura Banua

Pura Banua merupakan salah satu kompleks Pura Besakih yang berisi simbol-simbol sakral yang dapat kita gali nilai-nilai simbolisnya. Ada nilai-nilai penuh makna di balik simbol yang berada di Pura Banua tersebut. Secara umum Pura Banua itu adalah sebagai media pemujaan pada Tuhan untuk memohon kekuatan spiritual agar umat mampu mengelola kekayaan alam ciptaan Tuhan itu secara produktif dan efisien. Seperti apa Pura Banua itu?

Sesungguhnya manusia lahir ke bumi ini telah dibekali kekayaan berupa naluri untuk mempertahankan dan mengembangkan hidupnya. Dalam Atharvaveda.VII.115.3 menyatakan bahwa sesungguhnya manusia lahir dengan bekal kekayaan yang ada dalam dirinya. Kekayaan itu berupa naluri untuk hidup dan berkembang. Hal itu tergantung pada manusia itu sendiri. Manusia hendaknya berusaha untuk mengelola hidupnya dan menyingkirkan naluri yang buruk dan mengembangkan naluri yang baik. Maksudnya upaya mencari kekayaan itu hendaknya dibatasi untuk mengembangkan jati diri sebagai makhluk hidup ciptaan Tuhan.

Sebagai ciptaan Tuhan manusia memiliki kemampuan untuk menguasai dirinya agar tidak terjebak oleh gejolak indrianya. Indria yang dapat dikuasai akan dapat menjadi kekuatan untuk menguatkan eksistensi diri konsisten berjalan di atas jalan dharma.

Upaya untuk mengembangkan naluri hidup yang positif dan mencegah naluri yang negatif tidak mudah dilakukan tanpa tuntutan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Apalagi mengelola sumber daya alam yang tergantung pada hukum Rta. Untuk melindungi naluri yang positif itu Tuhan dipuja sebagai Batari Sri sebagai Sakti Dewa Wisnu pelindung kekayaan. Adanya Pelinggih Gedong sebagai sarana pemujaan Batari Sri sebagai media untuk mengembangkan spirit dalam bentuk berbagai ide dan gagasan-gagasan untuk membangun kemakmuran bersama.

Ide maupun gagasan-gagasan tersebut bersumber dari pengembangan spiritual dari proses pemujaan pada Batara Sri sebagai manifestasi Tuhan. Dengan demikian ide maupun gagasan tersebut bersifat strategis jangka panjang. Artinya ide dan gagasan tersebut tidak akan sampai merusak alam itu sendiri sebagai sumber mengembangkan kemakmuran. Kalau dari awal pengembangan kemakmuran itu dengan pendekatan spiritual maka upaya mencari kemakmuran itu tidak akan bergeser dari kemakmuran untuk hidup bukan kemakmuran untuk mengembangkan keserakahan.

Karena kalau rakus dasarnya maka kemakmuran itu akan membawa malapetaka bagi manusia. Akan muncul ketidakadilan. Dari ketidakadilan itu akan muncul permusuhan di antara sesama manusia. Karena keserakahan itu muncul dari pengembangan naluri yang tidak baik. Atharvaveda tersebut menyatakan agar manusia berusaha untuk membuang naluri-naluri kotor. Dengan berkonsentrasi pada pemujaan pada Batari Sri itu sebagai media religius untuk membendung dan membuang naluri kotor tersebut.

Pemujaan Batari Sri di samping dengan media Pelinggih Gedong juga dengan media Dewa Nini yang disimbolkan dengan seikat padi terpilih dengan hiasan ritual khas Hindu di Bali. Simbol Dewa Nini ini mengandung makna agar ide-ide dan gagasan-gagasan tersebut diwujudkan dalam tataran fragmatis, sehingga tidak mengawang-awang tanpa wujud. Simbol Dewa Nini ini diambil dari padi terpilih agar menjadi contoh untuk terus dikembangkan secara produktif dengan tetap memperhatikan aspek-aspek strategis jangka panjang.

Simbol stana Dewa Nini ini menggunakan padi sebagai simbolnya mengandung makna bahwa ide dan gagasan kemakmuran itu benar-benar nyata wujudnya seperti padi dengan kualitas terpilih itu. Kemakmuran itu hanya angan-angan saja. Dewa Nini ini di stanakan di bagian hulu dari Jineng sebagai media penghormatan kepada Dewa Nini simbol Pradana dari Batara Sri tersebut. Pradana adalah lambang wujud meterial sebagai wadah Purusa.

Jineng atau lumbung itu adalah sebagai tempat menyimpan padi bukan beras dan juga menyimpan sumber bahan makanan yang lainnya seperti jagung dan padi-padian lainnya. Hal ini melambangkan agar penggunaan hasil kekayaan yang diusahakan dari bumi ini digunakan secara hemat dan tepat. Menyimpan dalam bentuk padi itu bertujuan untuk menghemat secara tepat. Agar jangan menggunakan hasil kekayaan bumi ini dengan cara yang tidak benar.

Dalam Atharvaveda VII.115.4. dinyatakan ada kekayaan yang menguntungkan dan ada kekayaan yang tidak menguntungkan. Dalam Mantra Veda tersebut disertai dengan suatu doa semoga kekayaan yang menguntungkan selalu menyertai dan kekayaan yang tidak menguntungkan menjauh. Hal ini bermaksud agar manusia dalam menggunakan kekayaan itu tidak hanya menggunakan pendekatan hawa nafsu semata.

Kekayaan itu merugikan karena cara penggunaannya yang tidak menggunakan nilai-nilai kerohanian. Kekayaan tersebut akan senantiasa menguntungkan kalau penggunaannya menggunakan pendekatan daya spiritual dan kecerdasan intelektual. Agar daya spiritual itu berkembang maka dalam mengelola kekayaan itu dilakukan pemujaan pada Dewi Sri Sakti Dewa Wisnu. Lumbung itu simbol untuk memotivasi umat agar bisa hidup yang hemat dengan tepat.

Agar pengelolaan kekayaan hasil bumi ini ditiru oleh umat seluruhnya maka Jineng di Pura Banua ini adalah sebagai induknya Jineng di seluruh Bali. Dalam Rgveda VIII.45.41 ada suatu doa sbb: Ya Tuhan Yang Mahaesa, semoga melimpahkan kekayaan yang patut kami ditiru yang tersimpan di pegunungan atau di bawah tanah atau yang terbenam di samudera yang jumlahnya tak terhingga.

Mantra Rgveda ini dapat kita pahami sebagai suatu doa agar dalam mengelola kekayaan bumi ini senantiasa mendapat tuntunan Tuhan, sehingga pengelolaan kekayaan di bumi ini menjadi contoh bagi masyarakat luas. Dewasa ini bumi sudah semakin rusak karena pengelolaan kekayaan yang tersimpan di dalam bumi ini menggunakan pendekatan hedonistis. Artinya bumi diolah untuk memenuhi kenikmatan inderawi tanpa kendali.

Adanya balai Pesamuan dengan delapan tiang itu sebagai simbol bahwa dalam mengelola bumi ini dengan hasil-hasilnya hendaknya dilakukan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat luas. Segala sesuatu yang menyangkut kebutuhan bersama harus dipikirkan bersama dengan semangat musyawarah, sehingga tidak ada yang merasa ditinggalkan. Kekayaan alam yang dikandung bumi ini bukan untuk suatu golongan tertentu saja. Kekayaan tersebut untuk semua umat manusia, termasuk makhluk hidup lainnya. Demikianlah nampaknya nilai-nilai yang tersembunyi di balik simbol sakral di Pura Banua Besakih. * wiana

Sumber: http://www.balipost.com/balipostcetak/2007/5/9/bd2.htm

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *