Cinaritan linggih I Dewa Tagal Besung meru tumpang solas; Linggih I Dewa
Samplangan meru tumpang sia abungkul,
Linggih I Dewa Enggong meru tumpang pitu abungkul,
linggih I Dewa Sagening meru tumpang lima abungkul,
linggih I Dewa Made meru tumpang telu abungkul
(kutipan Raja Purana Pura Besakih)
Maksudnya:
Diceritakan pelinggih I Dewa Tegal Besung Meru Tumpang Sebelas, pelinggih I Dewa Samplangan Meru Tumpang Sembilan, Palinggih I Dewa Enggong Meru Tumpah Tujuh, pelinggih I Dewa Sagening Meru Tumpang Lima, pelinggih I Dewa Made Meru Tumpang Tiga.
Adanya tradisi pendirian Pura Padharman di kompleks Pura Besakih maupun di luar Pura Besakih diperkirakan sebagai pengaruh tradisi Hindu dari Kerajaan Majapahit dari Jawa Timur. Demikian juga halnya dengan Pura Padharman Ida Dalem Klungkung. Pura Padharman Ida Dalem Klungkung ini adalah Pura Padharman yang terbesar di antara Pura Padharman yang ada di kompleks Pura Besakih.
Keberadaan pelinggih di Pura Padharman Ida Dalem Klungkung amat sesuai dengan bunyi teks kutipan Raja Purana Pura Besakih tersebut di atas. Menurut keterangan Drs. Ida Bagus Putu Purwita (sekarang beliau sudah dwijati) bahwa Pura Padharman Ida Dalem Klungkung ini sebelum Gunung Agung meletus Maret 1963 berbentuk Prasada. Palinggih Prasada ini terbuat dari batu bata mirip candi-candi di Jawa. Hanya candi di Jawa menggunakan batu andesit.
Seperti Prasada beratap sebelas dibuat dengan batu bata dan pintu masuknya pada atap pertama bertuliskan ”Sang Hyang Eka Twa Dalem Ketut Kepakisan”. Hal ini menunjukkan bahwa di Prasada beratap sebelas ini adalah Padharman dari raja pertama dari keturunan Mpu Kepakisan dari Jawa Timur yang bergelar Ida Dalem Ketut Krsna Kepakisan. Prasada beratap sembilan sebagai Padharman dari Ida Dalem Sri Semara Kepakisan atau sering disebut Dalem Ketut Ngulesir.
Prasada beratap tujuh juga dibuat dari batu bata sebagai Padharman Ida Dalem Baturenggong. Prasada beratap lima sebagai Padharman Ida Dalem Sagening.
Sedangkan Prasada beratap tiga sebagai Padharman Ida Dalem Dimade. Raja yang bergelar Ida Dalem Dimade inilah sebagai Raja terakhir yang bertahta atau purinya di Gelgel atau Sweca Pura. Saat itu, Puri Ida Dalem di Samprangan disebut Linggarsa Pura.
Setelah Ida Dalem Dimade pusat kerajaan berpindah ke Klungkung dengan purinya disebut Smara Pura. Selanjutnya istilah Pura untuk menyebutkan tempat suci seperti Pura Kahyangan, maka pusat kerajaan pun disebut Puri tidak lagi disebut Pura. Di samping Prasada sebagai pelinggih utama terdapat juga dua Pelinggih Gedong beratap ijuk dan ada Meru Tumpang Lima dan Tumpang Tiga.
Demikian keberadaan pelinggih-pelinggih di Pura Padharman Ida Dalem Klungkung sebelum Gunung Agung meletus bulan Maret tahun 1963. Pada waktu Gunung Agung meletus tahun 1963 pelinggih Prasada tersebut hancur semuanya. Untuk memperbaiki Pura Padharman Dalem Klungkung tersebut digunakanlah Meru. Hanya pelinggih Prasada yang beratap sebelas stana Ida Dalem yang pertama saja dikembalikan bentuknya semula berupa Prasada juga. Sedangkan yang lainnya digunakan pelinggih Meru dengan fungsi sama seperti waktu berbentuk Prasada.
Tentang pendirian Padharman di kompleks Pura Besakih menurut Lontar Padma Bhuwana dimulai sejak tahun Saka 1400 atau tahun 1478 Masehi. Sedangkan menurut Lontar Babad Sukahet pendirian padharman di Besakih tahun Saka 1465 atau tahun 1543 Masehi. Bila tahun ini dihubungkan dengan periodisasi tahun pemerintahan dinasti Sri Krsna Kapakisan di Bali, maka pada tahun-tahun tersebut adalah saat pemerintahan Dalem Baturenggong di Bali yang berkeraton di Gelgel atau Sweca Pura. Demikian dinyatakan dalam skripsi Drs. Ida Bagus Putu Purwita (sekarang beliau sudah dwijati) tentang pengertian Padharman di Bali.
Nampaknya Pura Padharman Ida Dalem Klungkung didirikan oleh setiap generasi dari saat kerajaan berkeraton di Sweca Pura sampai di Smara Pura atau kota Klungkung sekarang. Ida Dalem Dimade sudah distanakan di Pelinggih Prasada beratap tiga adalah raja yang terakhir berkeraton di Gelgel. Ini berarti raja yang mendirikan Padharman untuk Ida Dalem Dimade adalah raja yang berkeraton di Smara Pura. Karena tidak mungkin Ida Dalem Dimade membuatkan pelinggih Padharman untuk diri beliau.
Untuk memuja leluhurnya raja-raja di Bali menggunakan istilah Padharman sebagai pengaruh tradisi Hindu pada Kerajaan Majapahit khusus untuk memuja roh suci leluhur orang-orang yang terkemuka dalam kehidupan masyarakat seperti raja, tokoh masyarakat dan para pandita atau resi. Sedangkan untuk memuja roh suci leluhur atau Dewa Pitara masyarakat pada umumnya menurut Lontar Purwa Bumi Kamulan dan beberapa lontar lainnya digunakan Kamulan Taksu sebagaimana diajarkan oleh Mpu Kuturan.
Kamulan Taksu ini menurut Lontar Siwagama didirikan di setiap hulu pekarangan rumah keluarga Hindu di Bali. Kalau keluarga tersebut meluas dan sampai berkembang minimal sepuluh pekarangan maka pemujaan bersama untuk leluhur itu disebut Merajan Gede. Kalau sampai minimal 20 pekarangan disebut Pura Ibu dan minimal 40 pakarangan disebut Pura Dadia atau Panti.
Untuk pemujaan umat yang satu klan atau satu wangsa disebut Pura Kawitan. Keberadaan sistem Wangsa dalam masyarakat Hindu di Bali untuk menguatkan sistem pemujaan leluhur sebagai tangga untuk memuja Tuhan. Karena pemujaan sebelumnya akan menguatkan pemujaan selanjutnya. Demikian dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra. Ini artinya pemujaan leluhur itu untuk menguatkan pemujaan pada Tuhan. Asal jangan berhenti pada pemujaan leluhur saja.
Itu artinya, sistem Wangsa dalam masyarakat Bali bukanlah untuk menentukan stratifikasi sosial dengan paradigma tinggi-rendah (tidak setara antarwangsa yang satu dengan wangsa yang lainnya). Wangsa itu tidak menentukan seseorang itu Brahmana, Ksatria, Waisya maupun Sudra. Sistem Wangsa untuk membangun keakraban atau kerukunan famili, bukan untuk menentukan kasta atau varna seseorang.
Umat dalam satu wangsa itu ada bermacam-macam profesinya. Ada sebagai pandita atau pinandita, ada sebagai birokrat, tentara atau politisi, ada sebagai pengusaha dan ada juga sebagai petani atau buruh.
* Ketut Gobyah
Pages: 1 2