Pelinggih Tiga Pandita di Pura Besakih
Sang Hyang Brahma Aji maputra tetiga, panua Sang Siwa, pamadya Sang Bodha, pamitut Sang Bujangga, Sang Siwa kapica Agninglayang amrestista akasa, Sang Bodha kapica Agnisara amrestista pawana, Sang Bujangga kapica Agni Sinararasa Mratista sarwaprani, iti ngaran Sang Tri Bhuwana Katon.
(Dipetik dari Lontar Ekapratama)
Maksudnya:
Hyang Brahma berputra tiga yaitu tertua Sang Siwa, yang kedua Sang Bodha dan yang terkecil Sang Bujangga. Sang Siwa diberi senjata Agni Ngelayang untuk menyucikan akasa, Sang Bodha diberi senjata Agnisara untuk menyucikan atmosfir dan Sang Bujangga diberi senjata Agni Sinararasa untuk menyucikan sarwaprani. Beliau ini disebut Sang Tri Bhuwana Katon.
Di jajaran belakang Padma Tiga dan di depan Balai Pesamuan terdapat tiga pelinggih berjejer. Pelinggih itu umum menyatakan berbentuk gedong, tetapi menurut pendapat penulis itu adalah Pelinggih Meru Tumpang Siki. Pelinggih yang di tengah sebagai pemujaan Mpu Beradah, di kirinya Pelinggih Sang Hyang Siem dan yang di kanan untuk Danghyang Markandia. Tiga pandita ini berbeda paksa, sampradaya atau sektanya.
Mpu Beradah sebagai Pandita Siwa, Sang Hyang Siem adalah dari Budha dan Resi Markandia adalah Bujangga Waisnawa. Tiga pandita atau resi ini nampaknya sebagai perwujudan konsep Sang Tri Bhuwana Katon yang dinyatakan dalam Lontar Eka Pratama. Maksud Sang Tri Bhuwana Katon ini adalah beliau yang suci yang nampak di bumi ini untuk memimpin umat manusia.
Kemungkinan besar konsep Sang Tri Bhuwana Katon ini yang disebut Tri Sadhaka. Kata ”sadhaka” artinya orang yang mampu melakukan sadhana yaitu merealisasikan atau mewujudkan kesucian dharma pada dirinya. Kata sadhaka berasal dari kata sadhana yang artinya kegiatan merealisasikan dharma dalam diri. Kalau sudah berhasil barulah disebut sadhaka.
Kalau kita perhatikan makna yang terkandung dalam Lontar Ekapratama tersebut bahwa keberadaan tiga pandita Siwa, Budha dan Bujangga Waisnawa itu sebagai ciptaan Tuhan untuk memimpin umat manusia memelihara kelestarian tiga lapisan bhuwana ini yaitu Bhur, Bhuwah dan Swah Loka.
Pada zaman modern sekarang ini tiga lapisan alam itu setiap hari dijejali oleh perbuatan manusia yang dapat mengotori tiga lapisan alam tersebut. Di Bali khususnya dan di Indonesia umumnya setiap Sasih Kesanga ada upacara Melasti dan upacara Tawur Kesanga di selenggarakan oleh umat Hindu. Upacara tersebut untuk mengingatkan umat agar dalam hidupnya ini senantiasa menegakkan upaya memuja Tuhan untuk menegakan Rta dan Dharma.
Kalau keberadaan alam selalu sesuai dengan Rta maka alam itu akan menjadi sumber penghidupan umat manusia sepanjang zaman. Demikian pula kalau dharma selalu tegak sebagai dasar kehidupan bersama dalam masyarakat maka manusia pun akan selalu dapat mewujudkan kebersamaan yang baik sebagai lingkungan sosial yang dinamis, harmonis dan sinergis. Pemujaan Tuhan untuk tegaknya Rta dan dharma inilah sesungguhnya aplikasi Tri Hita Karana.
Pemujaan Tuhan untuk tegaknya Rta menciptakan hubungan yang harmonis antara manusia dengan alamnya. Sedangkan pemujaan Tuhan untuk tegaknya dharma akan menciptakan hubungan harmonis antara manusia dengan sesama manusia. Artinya pemujaan Tuhan yang menciptakan hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan itu untuk Rta dan dharma.
Saat diselenggarakannya Tawur Kesanga untuk ditingkat propinsi ada tiga pandita yang mapuja. Tiga pandita inilah yang disebut oleh masyarakat umum Tri Sadaka. Pandita Siwa memuja untuk memohon kepada Tuhan agar umat dituntun untuk tidak berbuat sesuatu yang dapat mengotori akasa. Pandita Budha memuja untuk memohon kepada Tuhan demi kebersihan lapisan atmosfir. Sedangkan Pandita Bujangga memuja Tuhan untuk kesejahteraan sarwaprani.
Tiga lapisan alam ini sesungguhnya tidak terpisah-pisah adanya satu sama lain saling tergantung. Kalau salah atau lapisan yang rusak akan dapat merusak lapisan yang lain. Nampaknya pembuatan pelinggih untuk pemujaan tiga pandita ini didasarkan oleh Lontar Eka Pratama yang dikutip di atas.
Dari penempatan tiga pelinggih untuk tiga resi atau pandita itu dapat diambil sebagai suatu teladan bagi umat Hindu terutama yang ada di Bali bahwa tiga resi itu sebagai penuntun umat dalam mengembangkan pembinaan kehidupan alam dan manusia secara seimbang. Tiga pandita resi itu adalah sebagai Adi Guru Loka artinya sebagai guru yang utama dari masyarakat.
Pemujaan pada tiga sadhaka inilah sebagai suatu peringatan pada umat untuk berguru dalam menjaga kelestarian ibu pertiwi dengan enam hal. Enam hal yang harus dilakukan untuk menjaga tegaknya kelestarian ibu pertiwi dinyatakan dalam Atharvaveda XII.1.1. Enam hal itu adalah ”Satya. Rta, Tapa, Diksa, Brahma dan Yadnya. Umat pada umumnya dalam melakukan upaya melakukan enam hal menjaga ibu pertiwi atau Sad Pertiwi Daryante. Hendaknya senantiasa memohon tuntunan tiga macam pandita tersebut. Memohon tuntutan untuk menjaga kelestarian akasa, kebersihan udara dari polusi (amratistha pawana) dan menjaga kelestarian sarwaprani.
Satya adalah adalah sikap hidup yang konsisten dan konsekuen bertindak berdasarkan kebenaran dan kejujuran (Satya). Rta adalah perilaku yang menjaga kesejahteraan alam, Tapa adalah perilaku membina ketahanan diri untuk melawan binakinya hawa nafsu. Diksa adalah suatu upaya untuk terus berupaya mencapai kehidupan suci sampai mencapai status Dwijati.
Artinya tidak hanya lahir dari rahim ibu saja, tetapi bisa lahir dari rahimnya Weda melalui tuntunan pandita atau resi. Brahma artinya selalu berdoa dan belajar dengan tekun. Doa dengan mengucapkan mantra-mantra Veda tersebut dapat menguatkan eksistensi Dewi Sampad atau kecenderungan kedewaan.
Yadnya adalah sikap hidup yang senantiasa tulus dan ikhlas untuk rela berkorban demi tujuan yang lebih mulia. Enam hal itulah yang wajib dilakukan oleh umat atas tuntunan tiga pandita resi untuk menjaga agar Sad Pertiwi Daryante itu terlaksana dengan baik.
*I Ketut Gobyah
Pages: 1 2