TANDA GRAFIS DI MADDHYA MANDHALA
Tanda grafis yang terdapat pada maddhya mandhala dari Pura Pueak Bukit Sari – Pacung, menunjukkan kesimpulan yang hampir sama dengan yang tersurat di dalam sastra, hanya terdapat perbedaan angka tahun dimana dalam sastra lontar disebutkan tahun 1435 saka sedangkan pada dinding aling-aling tertera tahun 1432, hingga terjadi perbedaan selisih waktu 3 tahun, namun dalam penulisannya disesuaikan dengan angka pada tanda grafis, dengan asumsi bahwa data yang terdapat pada dinding aling-aling lebih akurat keberadaannya, namun kedua penanda itu kiranya benar sebab tidak mustahil pada tanda grafis aling-aling dibuat/ditulis tahun dimulainya, sedangkan pada sastra lontar ditulis tahun pura diupacarai, dimana penanda itu adalah :
Om. Ang Ung Mang, Nama Siwa Cala Tapya, Raj’ya Rsi Bhatara, Giri Sangkur iniketnya, ikang candra sangkala 1432.
Terjemahan Purana:
Om. Ya Tuhan semoga tiada halangan atas karuniaMu.
Sembah bhakti hamba kehadapan paduka Bhatara Hyang Suksma Wisesa, yang sebagai pengendali dan saksinya manusia berbuat kebajikan dan keburukan, semoga hambaMu ini tidak mendapat halangan di dalam penulisan atau merangkai kata-kata suci, semoga juga hamba terhindar dari tulah pamidhi; di dalam hamba mengucapkan / menguraikan kalimat yang maha suci, khususnya di dalam penulisan Purana Tattwa, yang sesungguhnya hamba sangat lancang menulis purana ini, demikian juga sanak keturunan hamba mendapatkan kebahagiaan dan tuntunan dengan adanya purana ini, semoga tidak kekurangan apapun, ia Tuhan dalam wujud aksara suci Ang Ung Mang (Brahma, Wishnu, Iswara), ia Tuhan sebagai sumber kehidupan di dunia ini yang bergelar Siwa Pasupati.
Sebagai awal dari uraian ini, tersebutlah beliau Tuhan Yang Maha Kuasa yang bergelar Sanghyang Siwa Pasupati, berkeinginan tedhun ke Bali, hal ini disebabkan karena beliau ingat akan putra beliau yang telah menunggu kedatangannya di Bali yaitu Bhatara Hyang Putranjaya dan Bhatari Dewi Dhanuh, hingga dengan demikian beliau akhirnya mengheningkan cipta melakukan yogha dengan sangat khusuk, yang menyebabkan angga beliau menjadi bertambah besar, selanjutnya Bhatara Hyang Siwa Pasupati lekas pergi kc Gunung Semeru, setibanya beliau di Gunung Semeru, dengan segera beliau mengupak pucak Gunung itu menjadi dua bagian, kupakan gunung inilah diambil oleh dengan kedua belah tangan beliau, lalu bongkahan gunung itu diterbangkan di angkasa, tidak diceritrakan lamanya beliau dalam perjalanan menerbangkan bongkahan itu, tersebutlah sekarang Bhatara Hyang Siwa Pasupati telah berada tepat di atas pulau Bali, terasa memang sangat berat oleh beliau Sanghyang Siwa Pasupati beban yang ada pada tangan beliau, di samping itu beban yang ada pada tangan beliau yang kiri lebih besar dari tangan kanan, hingga menyebabkan beliau berada di angkasa menuju arah utara di atas bhumi Bali ini, karena Bhatara Hyang Siwa Pasupati terbang tepat di atas Pulau Bali, menyebabkan berceceran jatuhnya bongkahan itu di tanah Bali, ceceran itulah yang menjadi cikal bakal dari bukit-bukit di Bali yang diantaranya disebutkan yaitu : Bukit Uluwatu, Pucak Sangkur, Pucak Bukit Sari, Pucak Gunung Kembar, kedua disebutkan terakhir ini disebutkan menjadi satu keberadaanya ( hubungan sekala niskala) Bongkahan gunung Semeru yang lebih besar menjadi gunung Tampud, sedangkan bongkahan yang paling besar disebut menjadi gunung Tapis.
Dari uraian tersebut di atas adalah sangat kaya akan makna filosofis dan memiliki karakteristik khusus, bahwa apa yang ada didunia ini sesuai dengan keyakinan umat beragama adalah diciptakan oleh Tuhan Yang Mahaesa. seperti dalam Reg Weda : 10. 190. 3, disebutkan : Surya candramasau dhala yathopurvam akal payat, divam ca prthiviw cantariksamatho svah.
Artinya :
Tuhan menciptakan matahari dan bulan sama seperti pada masa lalu, demikian pula Tuhan menciptakan siang dan malam, bumi dan antariksa.
Mantra tersebut bersumber dari Reg Weda yang membahas tentang penciptaan dunia ini di dalamnya terdapat sebuah sukta dengan judul Nasadhiya yang berisi pembahasan tentang dunia ini. Dalam sukta tersebut dijelaskan bahwa sebelum penciptaan dunia ini, tidak ada sat yaitu dalam bentuk dunia, demikian juga tidak ada asat yaitu tanpa bentuk apapun. Tidak ada kelahiran, tidak ada siang dan malam, tatkala itu hanya ada tama (kegelapan), selanjutnya Tuhan melaksanakan tapa (yajna) untuk mengevaluasi rta san satya (niti dan dharma), melalui yajna tersebut Tuhan menciptakan alam lengkap dengan segala isinya, yang pertama diciptakan oleh Tuhan adalah prethiwi barulah tumbuh- tumbuhan (Bhanaspati), kemudian burung-burung, binatang dan manusia. Sebelum penciptaan dunia ini hanya ada Tuhan yang bernapas sendiri tanpa tergantung pada siapapun, yang kemudian mengucapkan “aham bahu syam” yang berarti saya ingin menjadi banyak, sejak itu mulailah penciptaan dunia oleh Tuhan / Ida Sanghyang Widhi Wasa. Demikian juga pulau Bali termasuk bukit, gunung, sungai dan lain-lainya diciptakan oleh Tuhan yang mana dalam sastra Hindu beliau bergelar Sanghyang Siwa Pasupati yang sekaligus memberikan urip atau nafas kepada sekalian makhluk hidup.
Namun secara ilmiah disebutkan bahwa Pulau Bali vang luasnya 5.561 kilometer persegi terletak di kepulauan Nusantara yang berbatasan dengan Pulau Jawa dan Selat Bali disebelah barat dan Pulau Lombok di sebelah timur. Adapun pulau Bali terbentuk akibat naik turunnya permukaan laut yaitu pada masa puncak Gletser yang membentuk daratan Sunda dan daratan Sahul. Pulau Bali termasuk dalam daratan Sunda bersama- sama dengan pulau Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaka dan Kalimantan jutaan tahun yang lalu.
Dalam beberapa Purana, pulau Bali ada yang menyebutkan sebagai pulau Bangsul, baru sekitar abad ke- 8 disebut dengan istilah Bali. Istilah Bali sendiri berarti Banten, karena dalam Manawa Dharmasastra 111. 70 adanya istilah Balibhaurto yang berarti persembahan Bali pada Bhuto. Bhaurto merupakan bhuta sehingga yang dimaksud adalah Banten untuk caru seperti yang sering dilakukan daiam persembahan yadnya di Bali. Baik yang dipaparkan di dalam sastra Hindu maupun dalam teori ilmiah tentang terbentuknya dunia ini adalah sangat relevan, demikian juga teori Metha Fisika mengakui bahwa teori sastra Hindu seperti yang dipaparkan dalam Purana adalah benar adanya dengan teori ilmiah.
Kembali kita bicarakan tentang Purana, tersebut Bhatara Hyang Siwa Pasupati bersabdha : semoga pada Wukit Sari ada tempat suci sebagai sebagai wahana stanaKu (Sanghyang Siwa Pasupati), demikian sabdha beliau. Selanjutnya Sanghyang Siwa Pasupati berpesan kepada pada dewata, hai engkau anakku pada dewata sekalian engkau aku titahkan untuk turun ke Pulau Bali, yang selanjutnya engkau aku titahkan untuk tetap tinggal / berkahyangan di Pulau Bali, sebab dikemudian hari akan banyak pura-pura bertebaran di pulau Bali, karena di bali telah banyak Bukit dan gunung-gunung yang aku ciptakan dahulu, asal-usul dari bukit dan gunung itu adalah aku bawa dari Jawa, yang aku kupak puncak dari Gunung Semeru yang aku terbangkan dahulu ke Bali, hingga banyak bongkahan besar dan kecil jatuh di bhumi ini (Bali), itulah sebabnya banyak adanya gunung di Bali, demikianlah kejadiannya anakku para dewata sekalian, jika engkau temui adanya gunung yang besar itu disebut dengan Gunung Rajya, yang lebih kecil disebut Bukit dan menjadi gunung-gunung kecil di Bali, namun yang perlu engkau anakku ingat terutama tentang Pucak Sangkur dan Bukit Sari, kedua tempat itu adalah merupakan stanaKu di kemudian hari, karena aku telah mengucapkan bhisama bahwa ditempat itu akan berdiri suatu kahyangan sebagai tempatnya manusia mohon waranugraha kehadapanKu. Pengertian dari purana di atas menunjukkan bahwa gunung-gunung dan bukit sebagai tempat bersemayamnya para roh suci (Ida Sanghyang Widiii wasa) adalah sesuai dengan peradaban nenek moyang bahwa Gunung atau Bukit tempat bersemayamnya para dewa, ini pula yang melandasi pembangunan pura-pura di Bali selalu tempatnya lebih tinggi dari lingkungan sekitarnya, dan pura secara umum merupakan tiruan dari –*
*– hilang lenyap kemegahan dunia (baca Jawa). Dalam Babad Tanah Jawa dan Serat kanda Prabhu Brawijaya tiada lain adalah Girindrawardhana Dyah Ranawijaya, karena keduanya ini ditulis pada abad XVII tanpa membandingkan dengan sumber sejarah seperti prasasti, Nagarakretagama dan Pararaton, sehingga uraiannya tentang Majapahit sangat cewet, padahal kata Dyah dalam nama itu menunjukkan seorang wanita yang sesungguhnya dari kediri, bukan raja Majapahit.
Lalu siapakah raja Majapahit terakhir, bila kita melihat data sejarah maka Bhre Kertabhumi sangat identik dengan raja majapahit terakhir, karena tarikhh dan runtuhnya kerajaan majapahit sangat cocok dengan ungkapan Nagarakretagama dan Pararaton. hal ini dikuatkan oleh bunyi prasasti bahwa sang prabhu mangkat di kedaton saka Sunya Nora — yuganingwong ; 1400 = 1478 masehi. Beliau inilah yang datang ke Bali, hanya dalam sastra yang tersimpan di Bali disebutkan : ……, hana ta kang kunnvasa ikang Majalengka dhatengeng Bali pulina, tar waneh hyunira praya ginlaraken yogha Samadhi hnneng Bali pulina, sira abhiseka Ratu Sakti………… dan seterusnya.
Di dalam sejarah disebutkan Sang Prabhu Brawijaya datang ke Bali karena pengaruh terdesaknya oleh serangan Demak, namun dalam babad-babad di Bali disebutkan melakukan misi suci, tentunya kedua hal ini dapat dimengerti. Kata Ratu berarti penguasa atau raja menurut pandangan orang-orang Bali atau kaum ningrat, sedangkan Sakti karena sebagai penguasa, hingga dengan demikian sebutan Ratu Sakti dalam purana menurut sumber- sumber tersebut di atas tiada lain Bhre Kretabhumi yang bergelar Brawijaya. (Bhre atau Bra artinya orang utama atau kaum ningrat). Demikian yang dapat kami jelaskan tentang Ratu Sakti.
Kembali kepada masalah Purana, setelah Ratu Sakti dan arya Sentong sepakat untuk datang ke Bali dari Nusa pemda, maka pada hari yang baik kedua orang itu menyeberangi laut Bali, tidak diceritrakan dalam pelayarannya di lautan, tibalah beliau sekarang di Bali, dalam pada itu ia melanjutkan perjalanan menuju barat laut, di dalam perjalanan beliau berdua itu secara tiba-tiba mendengar suara gaib dari langit, hai engkau anakku berdua, demikian isi sabdha itu, pada hari ini pula kalian berdua agar segera berangkat menuju Pucak Sangkur, yang tiada lain letaknya adalah disebelah barat Gunung Mangu, disanalah engkau melakukan yogha Samadhi, setelah demikian lenyaplah sabdha itu dari pendengaran. Setelah selesai mendengar sabdha itu akhirnya keduanya segera berangkat, tidak diceritrakan dalam perjalanan, sekarang dikisahkan beliau telah tiba di Pucak Sangkur, disanalah ia melakukan yogha sesuai dengan titah Hyang Bhatara, dalam pada itu baik Ratu Sakti dan Arya Sentong dengan hati yang satu menghubungkan diri dengan Ida Sanghyang Widhi Wasa. Di dalam beliau menghubungkan diri dengan Hyang Maha Kuasa, terdengarlah sabdha, hai engkau anakku berdua, aku adalah Bhatara Hyang Semeru, aku juga disebut dengan Bhatara Hyang Siwa Pasupati, aku juga berstana di Candi Pura Purusada di Desa Kapal (Prasada = Candi, bhumi), stana Ku yang lain adalah di Kahyangan Jati Balur, ditempai engkau melakukan yogha juga aku yang berstana ( Pucak Sangkur), sekarang aku titahkan engkau berdua, lanjutkanlah perjalanan suci ini, tempuhlah perjalanan ke arah selatan, carilah yang namanya Bukit Sari, karena bukit itu dimasa yang lampau aku juga yang menciptakan, pada Bukit Sari itulah nantinya aku juga berkeinginan untuk berstana. Bukit Sari lokasinya tiada lain di Desa Pancung namanya (sekarang disebut Desa Pacung ;,Pent,), demikian titahKu kepada kalian berdua. Setelah mendengar sabdha yang demikian itu akhirnya keduanya menghaturkan sembah bhakti kehadapan Bhatara sebagai ungkapan rasa terimakasih, atas restu yang beliau limpahkan. Akhirnya kedua orang ilu dengan segera berangleat menuju arah selatan, tiada dikisahkan dalam perjalanan, tibalah beliau di Bukit Sari, setibanya di tempat itu, tiada lupa beliau (Ratu Sakti san Arya Sentong) mengadakan konsultasi dengan masyarakat desa Pacung, tiada lain yang dibicarakan adalah terutama mengenai sabdha Hyang Bhatara. selelah itu beliau berdua menyampaikan kepada masyarakat Desa Pacing tentang niatnya untuk membuat parhyangan / pura, sebagai tempat memuja kebesaran Tuhan dalam prabhawanya sebagai Sanghyang Siwa Pasupati, pada kesempatan yang haik itu beliau Ratu Sakti bertanya kepada masyarakat Desa Patung, bagaimana menurut pendapat kalian semuanya, demikian kata beliau. Secara serta merta masyarakat Desa Pacing umatur. hamba sekalian menyetujui apa yang paduka katakan.
Setelah tercapainya kemupakatan, akhirnya sekalian orang yang ada berkumpul di Bukit Sari merabas tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di Bukit Sari itu. pada hari yang telah ditentukan, sekalian orang-orang yang berkumpul di Bukit itu memohon petunjuk dan bimbingan dengan memusatkan pikiran kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa. dalam pada itu, terdengarlah suara ngawang-ngawang dari langit, hai engkau sekalian yang berkumpul di tempat ini, dengarlah baik-baik sabdhaKu ini, Aku tiada lain adalah Sanghyang Siwa Pasupati junjungan kalian, buatlah parhyangan/stana tempat memuja Aku di Bukit ini, demikian juga di tempat ini bangunlah stana lingga Hyang Bhatara Pucak Sangkur, Bukit Jati, Prasada Kapal, Alas Sangeh (menunjukkan keterkaitan : Pent.), akulah (Sanghyang Siwa Pasupati) yang berstana pada kahyangan yang engkau buat ini, demikianlah yang mesti engkau wujudkan dengan perasaan yang tulus ikhlas membuat parhyangan di Bukit Sari ini.
Setelah mendengar sabdha yang demikian itu barulah dilanjutkan dengan membuat parhyangan Hyang Bhatara, sekalian orang, yang ada di Bukit Sari dengan hati yang tulus ikhlas mengabdikan dirinya kehadapan Hyang Bhatara, tidak diceritrakan lamanya pengerjaan Pura tersebut, disebutkan parhyangan yang dibuat itu telah rampung dikerjakan, barulah dilanjutkan dengan prosesi upacara pccaruan dan Dewa Yadnya, pada hari Sabtu Kliwon, bertepatan dengan bulan Purnama, isaka 1432 atau 1510 masehi, dimana tempat suci yang baru selesai disucikan diberikan nama Pura Bukit Sari, sesuai dengan nama Bukit tersebut, yang terletak di Desa Pacung, sebagai tempat memuja kebesaran Tuhan Yang Maha Kuasa dalam prabhawanya sebagai Sanghyang Siwa Pasupati.
Tatkala itu terdengarlah suara gaib yang tiada lain adalah sabdha Sanghyang Siwa Pasupati, hai engkau masyarakat desa Pacung demikian sabdha itu, parhyangan ini sebagai tempat untuk memohon pasupati Barong, dimana tatkala Aku memberikan pribrasi suci (pemberi Pasupati), Aku bergelar Bhatara Gede Sakti Ngawa Rat, Aku (Sanghyang Siwa Pasupati) yang berhak memberikan pengurip-urip/pasupati terhadap semua tapakan barong di Bali, demikian sesungguhnya alam kekuatanKu, itulah yang mesti engkau ingat untuk selamanya, dan kahyangan ini berfungsi sebagai kahyangan umum, pada kahyangan ini pula tempatmu memohon waranugraha demi keselamatan tanaman disawah-sawah, yang menyebabkan segala apa yang engkau tanam akan tumbuh dengan subur. Demikian purana ini diakhiri, Om. Saraswati yanamah, Om. Ang Ung mang.
Tanda grafis yang terdapat di Pura Bukit Sari berbunyi seperti tersebut di depan berbunyi :
Om. Ang Ung Mang, Nama Siwa Cala Tapya, Rajya Rsi Bhatara, Giri Sangkur iniketnya, ikang candra sangkala 1432.
Artinya :
Ia Tuhan dalam wujud Siwa Tiga (Brahma, Wishnu, Siwa/Sambhu). kahyangan ini tiada lain tempat stana dan pertapaan Sanghyang Siwa sebagai gurunya jagat tiga ini. dan beliau sebagai raja makhluk yang bergelar Sanghyang Siwa Pasupati dan sebagai guru yogi/pandhitanya dunia ini, yang erat kaitannya dengan Pucak Sangkur, dibangun pada tahun saka 1432 atau 1510 masehi.
Baik keterangan yang terdapat dalam tanda grafis dan keterangan yang termuat dalam lontar yang menguraikan tentang Pura Bukit Sari, pada intinya terdapat kesamaan yaitu terutama yang berstana di Pura Bukit Sari dan keterkaitannya dengan Pura Pucak sangkur.