BAB III
CIKAL BAKAL
ADANYA PURA BUKIT SARI
Apapun yang ada di dunia ini sudah past’ dicintakan oleh Ida Sanghvang Widhi Wasa, ini sejalan dengan keyakinan umat beragama, bahwa Tuhan menciptakan dunia ini termasuk pula dengan segala isinya, seperti disebut dalam Rcg Weda : 10. 190.3, yang telah diuraikan secara singkat di depan. Demikian pula keberadaan Bukit Sari yang hingga akhirnya berdiri sebuah Pura, dengan nama Pura Bukit Sari juga merupakan salah satu ciptaan beliau Tuhan Yang Mulia Kuasa. Keberadaan Puta Bukit Sari I’acung tidak terlepas dari tiga paktor yaitu :
- Masa sebelum berdirinya Pura Bukit Sari – Paeung.
- Masa berdirinya Pura Bukit Sari — Paeung.
- Masa setelah berdirinya Pura Bukit Sari – Paeung.
- Hubungan Pura Pucak Bukit Sari dengan Pura Pucuk Kembar.
1. Masa sebelum berdirinya Pura Bukit Sari – Paeung :
Seperti yang telah dipaparkan di dalam Purana, bahwa adanya Bukit Sari yang terletak di Desa Paeung, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan tidak terlepas dari adanya penciptaan gunung-gunung dan bukit-bukit di alau Bali oleh Ida Sanghyang Widhi Wasa, yang di dalam Purana beliau bergelar Sanghyang Siwa Pasupati. Lalu kenapa salah satu prabhawa Tuhan Yang Maha Kuasa disebut Siwa Pasupati?. jika kita merunut isi lontar Pustaka raja bahwa Siwa juga sama artinya dengan guru, hingga tidaklah mustahil dikalangan Umat Hindu khususnya di Bali ada yang menyebutkan dengan istilah Sanghyang Siwa Guru. Berarti disini guru yang dimaksud adalah gurunya dunia atau alam ini, sedangkan Pasupati berasal dari kata Pasu dan Dati yaitu Pasu berarti makhluk, sedangkan Pati berarti tuan raja/penguasa ( P.J. Zoetmulder. 190 dan 194, Kamus jawa Kuna), sehingga dengan demikian Sanghyang Siwa Pasupati di samping sebagai Gurunya dunia (yogi) beliau juga sebagai rajanya makhluk hidup di dunia ini yang memberikan kehidupan atau jiwa/roh bagi semua makhluk hidup.
Kembali kita membicarakan masa sebelum berdirinya Pura Bukit Sari, wilayah itu puncaknya hanya ditumbuhi oleh semak belukar, tumbuhan yang besar-besar sebagaimana layaknya sebuah hutan, namun termpat itu sudah mempunyai pibrasi yang sangat kuat, karena menurut Purana Bukit itu telah disabdhakan oleh Sanghyang Siwa Pasupati sebagai stana beliau dikemudian hari yang tentunya berupa tempat suci.
Sebagai tanda bahwa suatu tempat memang untuk memuja kebesaran j uban, secara demografis lebih tinggi dari wilayah sekitarnya, karena hal ini sejalan dengan kepercayaan nenek moyang bahwa tempat yang lebih tinggi diyakini sebagai stana para roh-roh suci / leluhur, sehingga peradaban Hindu Kuna menganggap gunung atau bukit tempat memuja para dewa. Di datam Purana dikisahkan tentang peciptaan oleh Sanghyang Siwa Pasupati baik bukit maupun gunung-gunung termasuk Bukit Sari yang terletak di Desa Paeung, sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sejarah sebelum berdirinya Pura Bukit Sari, wilayah ini hanya berupa bukit, pada waktu yang telah digariskan olehTuhan berdiri sebuah pura dengan mengabadikan nama bukit itu sebagai nama pura, sehingga sampai sekarang bernama Pura Bukit Sari.
2. Masa berdirinya Pura Bukit Sari :
Sesungguhnya tempat suci bagi Umat Hindu sebelum bernama pura disebut dengan nama Ulon atau Parky angan, lalu kaparkah rama itu diganti menjadi Pura?. Bila kiia menyimak tentang adanya babad Dhalem maka perubahan itu tidak terlepas dari pengaruh raja yang memerintah di Bali. Dalam Babad Dhalem disebutkan bahwa perubahan itu terjadi tatkala yang menjadi penguasa di Bali adalah Dhalem Waturcnggong sekitar abad XVI, yang mana tatkala pemerintahan kerajaan mencapai puncak keemasan di Bali.
Kata Ulon berasal dari Ulu yang artinya didepan atau bagian atas, sedangan Parhyangan berasal dari kata Hyang yang berarti diatas ( Tuhan ),hingga dengan demikian Pura yang dahulunya disebut Ulon atau Parhyangan karena tempat itu digunakan untuk memuja yang di atas dalam hal ini adalah Ida Sanghyang Widhi W asa. Seperti tersebut di atas nama Ulon untuk tempat suci diganti namanya menjadi Puia. Pura sesungguhnya merupakan tempat kediaman raja di jaman dahulu, dimana kata pura berasal dari kata Pur yang artinya benteng, ini terbukti tempat kediaman raja dUUuu dengan Smarapura, Wratmarapura, Mangopura dan lain-lain. Karena istilah pura digunakan untuk tempat suci maka tempat kediaman rajapun diganti namanya menjadi puri.
Sesuai dengan isi pustaka kuna bahwa Pura Bukit Sari yang ada di Desa Pacung berdiri pada tahun 1432 saka atau tahun 1510 masehi, yang dibangun oleh Ratu Sakti. Arya Sentong bersama dengan masyarakat Desa pacung tatkala itu. sebagai wahana memuja Sanghyang Siwa Pasupati, dimana pura ini merupakan tempat pemujaan umum bagi umat Hindu. Sikap yang tanpa pamrih dari para pendaluhu kita inilah yang patut ditauladani di dalam kita melanjutkan pembangunan, khususnya pembangunan di bidang keagamaan dan spiritual karena dengan agama hidup kita sebagai insan di dunia ini tikan menjadi terarah, di samping itu bagi kita umat Hindu sains merupakan hal yang sangat penting untuk mendalami ajaran agama Hindu yang sangat bersifat religius.
3. Masa setelah berdirinya Pura Bukit Sari – Pacung :
Setelah berdirinya Pura Bukit sari, hingga dalam rentang waktu tertentu terjadi suatu kisah yang sangat diyakini seita melegenda di hati masyarakat pengempon, dimana hal ini diwarisi oleh suatu cerita yang secara turun tumurun dari para tetua-tetua, dimana cerita rakyat itu masih meninggalkan tanggalan berupa bukti-bukti, seperti palinggih dan tetamanan. Keterangan yang berhasil dapat dirangkum dari sumber yang dapat dipercaya adalah sebagai berikut :
Tersebutlah Sang Panca Dewata, berkeinginan menghadap Dewi Gangga (sakti dari Dewa Siwa) yang menurut sastra bahwa Dev/i Gangga adalah sebagai dewanya dartau, dalam hal ini beliau disebutkan berstana di Danau Bratan (Purana Bali Dwipa Mandhala), kedatangan Sang panca Dewata menuju Danau Bratan dengan menunggangi
Naga Wisosa, namun dalam perjalanan naga tersebut menunjuknn sifat yane brintzas. dimana setibanya di sebelah selatan Bukit Sari – Pacung naga itu semakin galak sifatnya, melihat gelagat yang demikian dari naga tersebut, akhirnya sang panca Dewata me’aporkan kehadapan Dewi Gangga, yang merupakan penyebab perjalanan. :uga tersebut tidak sampai di tempat tujuan (danau Bratan), karena sifat yang demikian dari naga itu, hingga diputuskan untuk membunuhnya, namun sang naga mengetahui dirinya akan dibunuh, lalu ia berkata : aku rem dibunuh namun ada permintaanku, agar para umat setelah kematianku mau menyembah, demikian permintaannya. Setelah kemufakatan terjadi akhirnya naga tersebut dibunuh dengan menggunakan tangkai pelumat sirih (tangkai panglocokan= Bahasa Bali) yang asal-usulnya dari Pucak Panenjoan.
Dimana pada tempat naga tersebut dibunuh menjadi sebuah munduk yang panjangnya kurang lebih 2 km, dimana pada tempat leher naga itu putus menjadi sebuah bukit atau tebing yang terpisah, yang bagian tengahnya menjadi aliran sungai kecil yang diasumsikan sebagai alirandarah dari nagara tersebut. Pada tempat Tapa tersebut dihentikan akhirnya berdiriiah sebuah tempat suei yang disebut dengan Pucak Andcg, sedangkan pada tempat naga tersebut dipanah/dibunuh disebut dengan Pucak Panenjoan. Belahan tebing atau bukit selanjutnya disebut dengan nama Taman Megcndra. diman.. sebelum naga tersebut dibunuh, sempat mengamuk bagaikan singha yang sedang lapar, atas kejadian tersebut wilayah itu dinamakan Tcgalalang.
Naga sesungguhnya bukanlah identik dengan ular besar atau istilah naga disini bukanlah ular yang besar, melainkan sesuatu yang mengandung makna filosofis, dimana Naga berasal dari dua suku kala vaitu Na dan Ga. Na berarti tidak, dan Ga artinya berjalan. Sehingga dengan demikian artinya tidak berjalan, t.Jak pergi atau tidak bergerak. Sesuatu yang tidak bergerak adalah tetap ada dan sesuatu yang tetap ada adalah abadi. Dalam hal ini naga bermakna sesuatu keabadian Hyang Widhi Wasa, karena Hyang Widhi Wasa adalah kekal abadi dan tidak pernah tidak ada. Dalam upacara Pitra Yadnya sering digunakan patulangan berupa Nagakaang yaitu naga bersayap, namun seeara biologis tidak dikenal adanya naga bersayap. Lalu kenapa diberi sayap!, yang tiada lain merupakan suatu idealisme untuk bisa terbang ke alam sana. Bukan berarti Nagakaang itu Hyang Widhi Wasa, hanya penggunaan Nagakaang mengandung kasuksman bahwa roh orang yang meninggal itu menghadap Hyang Widhi Wasa yang maha abadi itu.
Mencermati hal tersebut di atas, Munduk yang terletak disebelah selatan Pura Pucak Bukit Sari- Pacung yang oleh masyarakat kebanyakan disebut dengan Tapa yang cikal bakalnya pada peristiwa terbunuhnya seekor naga, sesungguhnya merupakan sesuatu tempat atau stana keabadian Tuhan dengan prabhawanya sebagai Sanghyang Siwa Pasupati dengan puncak atau hulunya ada di Pucak Bukit Sari.
4. Hubungan Pura Pucak Bukit Sari dengan Pura Pucak Kembar
Setiap parhyangan yang ada di Bali tentunya mempunyai keterkaitan antara yang satu dengan yang lain, baik segi histories, maupun hubungan kekerabatan masyarakat pengemponya, demikian juga halnya dengan Pura Pucak Bukit Sari memiliki keterkaitan erat dengan Pura Pucak Kembar yang keduanya berlokasi di Desa Adat Pacung kecamatan Baturiti – Tabanan. Bukti-bukti keterkaitan itu masih dilakoni eleh masyarakat Desa Pacung terutama dalam hal pelaksanaan Upacara keagamaan maupun hal-hal lain yang berhubungan dengan konteks niskala, dimana data riil keterkaitan itu antara lain :
- Jika tapakan Ida Bhatara yang berstana di Pura Pucak Kembar tatkala tedhun ka Jaba Kutha, diawali dengan “nunapasupati” di Pura Pucak Bukit Sari.
- Jika dalam pelaksanaan Pujawali ageng di Pura Pucak Kembar, diadakan prosesi mendak Ida Bhatara yang berstana di Pucak Bukit Sari, dengan harapan agar beliau juga berkenan melimpahkan waranugrahanya agar pelaksanaan Pujawali tersebut dapat berjalan sebagaimana mestinya yaitu mencapai keheningan dan kedamaian.
Dalam konteks niskala, jika Tapakan suatu pura nunas pasupati/yasa kerthi, terlebih dahulu harus simpang di Pura Pucak Kembar, serta dihaturkan pasucian bagi tapakan tersebut di Taman Cakra Pucak kembar, dengan prosesi selanjutnya tapakan tersebut kahiring masuci di Pancoran Solas yang juga merupakan Beji Ida Bhatara Pura Pucak Kembar. Setelah tahapan itu berakhir barulah tapakan yang nunas pasupati tersebut diusung atau kahiring lungha ku Pura Pucak Bukit Sari memohon Pasupati kehadapan Sanghyang Stwa Pasupati yang berstana di Pura Pucak Bukit Sari. Hubungan tersebut di atas adalah berdasarkan Agama Pramana.