Seni Tembang
Di Bali terdapat berbagai jenis tembang yang mempunyai struktur dan fungsi yang berbeda-beda. Masyarakat Bali membedakan seni tembang ini menjadi empat (4) kelompok:
- Gegendingan, Gegendingan adalah sekumpulan kalimat bebas yang dinyanyikan. Isinya pada umumnya pendek, dan sederhana. Dikatakan bebas karena benar-benar tidak ada ikatannya. Antara tiap kalimat tidak harus mempunyai arti yang membentuk cerita atau pengertian, dan kadang-kadang kalimat yang terbentuk dari kata-kata itu juga tidak mempunyai arti yang jelas.
Ada tiga jenis gegendingan:- Gending Rare:Gending Rare atau Sekar Rare mencakup berbagai jenis lagu-lagu anak-anak yang bernuansa permainan. Jenis tembang ini pada umumnya memakai bahasa Bali sederhana, bersifat dinamis dan riang, sehingga dapat dilagukan dengan mudah dalam suasana bermain dan bergembira.
Biasanya tiap lagu dilengkapi (atau sebagai pelengkap dari) sebuah permainan (dolanan) yang bertema sama. Tetapi ada juga yang berdiri sendiri, sebagai lagu-lagu rakyat (gegendingan) yang bentuknya sangat sederhana. Baik lagu anak-anak maupun lagu rakyat tidak terlalu diikat oleh hukum / uger-uger seperti Guru Lagu atau Padalingsa. Pada jenis gending ini, ada yang seluruh baitnya merupakan isi, dan ada pula yang mengandung bait- bait sampiran bahkan ada yang hanya berupa sampiran tanpa isi yang jelas artinya.
Beberapa contoh dari jenis tembang ini antara lain:- Meong-meong,
- Juru Pencar,
- Ongkek-ongkek Ongke.,
- Indang-indang Sidi,
- Galang Bulan,
- ucung-ucung Semanggi,
- Pul Sinoge, dan masih banyak lainnya.
- Gending Jejangeran:Gending Jejanggeran ini sama dengan Gending Rare dan biasanya dinyanyikan bersama-sama saling sahut-menyahut antara kelompok satu dengan yang lain. Ada yang menjadi janger (kelompok putri) ada yang menjadi kecak (kelompok putra).
Lama kelamaan Gending Jejangeran ini dinyanyikan juga oleh orang-orang dewasa di dalam tontonan dengan jalan memberi variasi gerak-gerik atau variasi lakon (lelampahan)
Contoh Gending Jejangeran ini antara lain:- Putri Ayu,
- Siap Sangkur,
- Majejangeran, dan masih banyak yang lainnya.
- Gending Sanghyang: Gending Sanghyang dinyanyikan untuk menurunkan (nedunang) Sanghyang-Sanghyang, misalnya pada prosesi budaya peninggalan jaman pra-Hindu dalam tarian sakral Sanghyang, yang meliputi tarian Sanghyang Dedari, Sanghyang Deling, Sanghyang Jaran, Sanghyang Bojog, Sanghyang Celeng,Sanghyang Sampat dan sebagainya. Sistem atau ortenan tembang-tembang ini sama dengan gending-gending rare lainnya, pengertian yang dihasilkan dari isi gending ini sering abstrak, dan tidak menentu karena sulit dicerna. Ini sesuai dengan kaidah gegendingan yang tidak menuntut pengertian yang utuh dan runtut seperti halnya Tembang Macapat.
Contoh dari gending-gending Sanghyang antara lain:- Puspa Panganjali,
- Kukus Arum,
- Suaran Kumbang, dan masih banyak lagi.
- Gending Rare:
- Tembang mecapat, Sinom, Pangkur (Sekar Alit),Berbeda dengan Sekar Rare (lagu anak-anak maupun lagu rakyat), kelompok Sekar Alit, yang biasa disebut tembang macapat, gaguritan atau pupuh, terikat oleh hukum Padalingsa yang terdiri dari guru wilang dan guru dingdong. Guru wilang adalah ketentuan yang mengikat jumlah baris pada setiap satu macam pupuh (lagu) serta banyaknya bilangan suku kata pada setiap barisnya. Bila terjadi pelanggaran atas guru wilang ini maka kesalahan ini disebut elung. Selanjutnya guru dingdong adalah uger-uger yang mengatur jatuhnya huruf vokal pada tiap-tiap akhir suku kata. Pelanggaran atas guru dingdong ini disebut ngandang. Tentang istilah macapat yang dipakai untuk menyebut jenis tembang ini adalah sebuah istilah dari bahasa Jawa. Kelompok tembang ini disebut tembang macapat karena pada umumnya dibaca dengan sistem membaca empat-empat suku kata (ketukan).
Adapun jenis-jenis tembang macapat (pupuh) yang terdapat di Bali dan yang masih digemari oleh masyarakat, di antaranya adalah:- Pupuh Sinom:
- Sinom Lumrah (Pelog),
- Sinom Wug payangan (Slendro),
- Sinom dingdong (Slendro),
- Sinom Sasa (Slendro),
- Sinom Lawe (Slendro),
- Sinom Genjek (pelogg),
- Sinom Silir (Slendro).
- Pupuh Ginada:
- Ginada Basur (Slendro),
- Ginada Linggar Petak (Slendro),
- Ginada Jayapura (Slendro),
- Ginada Bagus Umbara (Slendro),
- Ginada Candrawati (Slendro),
- Ginada Eman-eman/Bungking (Pelog).
- Pupuh Durma;
- Durma Lumrah (Pelog),
- Durma Lawe (Pelog).
- Pupuh Dangdang: dangdang Gula (Pelog).
- Pupuh Pangkur:
- Pungkur Lumrah (Pelog,
- Pangkur Jawa/Kekidungan (Slendro).
- Pupuh Ginanti:
- Ginanti Lumrah (Pelog dan Slendro),
- Ginanti Pangalang (Pelog dan Slendro).
- Pupuh Semarandana:
- Semarandana Lumrah (Pelog),
- Semarandana Mendut (Slendro).
- Pupuh Pucung (Slendro dan Pelog).
- Pupuh Megatuh (pelog).
- Pupuh Gambuh (Pelog).
- Pupuh Demung (Slendro).
- Pupuh Adri (Pelog)
Masing-masing pupuh yang tersebut di atas mengandung suasana kejiwaan yang berbeda-beda. Suasana yang ditimbulkan oleh pupuh tersebut sangat berguna untuk mengungkapkan suatu suasana dramatik dari suatu cerita / lakon. Secara umum hubungan antara suasana dengan jenis pupuh dapat dilukiskan sebagai di bawah ini:
* Suasana aman, tenang, tentram : Sinom Lawe, Pucung, Mijil, Ginada Candrawati, dan lain-lain.
* Suasana gembira, riang, meriah : Sinom Lumrah, Sinom Genjek, Sinom Lawe, Ginada Basur, Adri, Megatuh dan sebagainya.
* Suasana sedih, kecewa, tertekan : Sinom Lumrah, Sinom Wug payangan, Semarandana, Ginada, Eman-eman, Maskumambang, Demung, dan lainnya.
* Suasana marah, tegang, kroda : Durma,dan Sinom Lumrah.Sekalipun demikian, pengaruh dari si penyanyi yang membawakan pupuh tersebut dapat mengubah suasana yang ditimbulkan oleh pupuh tersebut. Perlu pula diketahui bahwa kelompok tembang ini disebut pupuh adalah berdasarkan bagan atau kerangka lagu yang ada pada masing – masing pupuh ini. Berdasarkan isi atau cerita yang diungkapkan, jenis tembang ini juga di sebut Guritan menurut cerita yang dikandungnya. Guritan Basur berarti tembang macapat yang mengungkapkan cerita Basur. Begitu pula halnya Guritan Jayaprana, Sampik, Linggarpetak dan lain sebagainya. Bahasa yang dipakai dalam kelompok tembang macapat ini adalah bahasa Kawi (jawa Kuno) dan bahasa Bali. Berdasarkan hukum Padalingsanya tembang – tembang macapat Bali ini dapat disusun seperti tabel berikut ini: - Pupuh Sinom:
- Kekidungan (Sekar Madya),
Sekar Madya yang meliputi jenis-jenis lagu pemujaan, umumnya dinyanyikan dalam kaitan upacara, baik upacara adat maupun agama. Kelompok tembang yang tergolong sekar madya pada umumnya mempergunakan bahasa Jawa tengahan, yaitu seperti bahasa yang dipergunakan di dalam lontar/ cerita Panji atau Malat, dan tidak terikat oleh Guru Lagu maupun Padalingsa. Yang ada di dalamnya adalah pembagian-pembagian seperti :- Pangawit: pembuka,
- Pamawak: bagian yang pendek,
- Panawa: bagian yang panjang,
- Pangawak: bagian utama dari tembang.
Tembang-tembang yang tergolong dalam kelompok ini di antaranya yang paling banyak adalah Kidung atau Kakidungan. Kidung diduga datang dari Jawa abad XVI sampai XIX akan tetapi kemudian kebanyakan ditulis di Bali. Hal ini dapat dilihat dari struktur komposisinya terbukti dengan masuknya ide-ide yang terdiri dari Pangawit, Panawa dan Pangawak yang merupakan istilah-istilah yang tidak asing lagi dalam tetabuhan Bali.
Di Bali kidung-kidung selalu dilakukan dan dimainkan bersama-sama dengan instrumen. Lagu – lagu kidung ini ditulis dalam lontar tabuh-tabuh Gambang dan oleh karena itulah laras dan namanya banyak sama dengan apa yang ada dalam penggambangan, menggunakan laras pelog Saih Pitu (Pelog 7 nada) yang terdiri dari 5 nada pokok dan 2 nada pemaro/ tengahan. Modulasi yaitu perubahan tangga nada ditengah-tengah lagu sangat banyak dipergunakan.
Beberapa jenis kidung yang masih ada dan hidup di Bali antara lain: Aji Kembang, Kaki Tua, sidapaksa, Ranggadoja, Rangga Lawe, Pamancangah, Wargasari, Pararaton, Dewaruci, Sudamala, Alis-alis Ijo, Bhrahmana sang Uttpati, Caruk, Bhuksah, dan lain-lain.
Selain kidung adapula jenis tembang lainn yang dapat dimasukkan ke dalam kelompok Sekar Madya, yakni Wilet dengan jenis-jenisnya antara lain: Mayura, Jayendra, Manjangan Sluwang, Silih-asih, sih Tan Pegat, dan lainnya.
- Kekawin/Wirama (Sekar Agung).Sekar Agung atau Tembang Gede meliputi lagu-lagu berbahasa Kawi yang diikat oleh hukum guru lagu, pada umumnya dinyanyikan dalam kaitan upacara, baik upacara adat maupun agama. Jenis tembang Bali yang termasuk dalam kelompok Sekar Agung ini adalah Kakawin. Kakawin adalah puisi Bali klasik yang berdasarkan puisi dari bahasa Jawa Kuna. Dilihat dari segi penggunaan bahasanya, Kakawin banyak mengambil dasar dari puisi Sanskerta yang kemudian diterjemahkan dan disesuaikan, sehingga mempunyai kekhasan tersendiri.Ada dugaan bahwa Kakawin ini diciptakan di Jawa pada abad IX sampai XVI. Di dalam Kakawin terdapat bagian-bagian sebagai berikut:
- Pengawit (penyemak): pembukaan
- Penampi (pengisep),
- Pengumbang,
- Pamalet Kakawin: dilakukan dengan diselingi terjemahannya.
Masyarakat Bali mengenal banyak jenis Kekawin seperti: Aswalalita, Wasantalika, Tanukerti, Sardulawikradita, Watapatia Wangeasta, Wirat, Çekarini, Ginsa, Prtwitala, Puspitagra, Saronca, dan masih banyak lagi.
Di samping tembang-tembang di atas masih ada beberapa jenis untaian kata bertembang yang sukar untuk dimasukkan ke dalam kelompok-kelompok yang bertembang. Jneis-jenis kata bertembang yang dimaksud adalah:
* Sasonggaan: kalimat kiasan yang dapat dipakai untuk menggambarkan suatu peristiwa,
* Bladbadan: kalimat yang mengandung arti kiasan,
* Wawangsalan: kalimat bersajak,
* Sasawangan: kalimat perbandingan,
* Papindaan: kalimat perbandingan,
* Tandak: kalimat yang dilagukan melodinya diharmoniskan dengan nada yang diikutinya,
* Pangalang: tembang pendahuluan,
* Sasendon: semacam tandak yang dipergunakan untuk menggarisbawahi suatu drama.Untuk dapat menyanyi dengan baik, seorang penembang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Suara harus bagus dan tahu pengolahannya,
2. Nafas panjang serta tahu mengaturnya,
3. Mengerti tentang laras pelog dan slendro,
4. Mengerti tetabuhan dan menguasai perihal matra,
5. Tahu hukum/uger-uger yang dipakai pada masing-masing kelompok tembang,
6. Memahami seni sastra.