Raja Purana Pura Luhur Pucak Kembar

PURANA PURA LUHUR PUCAK KEMBAR

 

Tersebutlah pada jaman dahulu pada tahun saka 135 atau tahun 213 masehi Sanghyang Pasupati beryoga di Gunung Rajya, setelah yoganya mencapai tingkat kesempurnaan, maka yoganya dilemparkan kesebuah sungai yang berbatu, menyebabkan gempa yang sangat dahsyat secara terus menerus, kemudian dari batu yang ada di sungai lahirlah seorang anak kecil kulitnya hitam legam, dan dari riak air yang mendidih lahir pula seorang bayi warna kulitnya putih. Menurut purana peristiwa tersebut terjadi di sungai Limpar dan menurut Kunalini Tattwa sungai Limpar tidak lain adalah sungai Unda, disanalah bayi itu berdua hidup menikmati keindahan sungai dan semak belukarnya. Saking asyiknya bermain tidak dirasakan menyusup sampai ketengah semak belukar, yang dihuni oleh seekor Lembhu, seraya menyapa : Ya tuanku berdua, siapakah gerangan orang tuamu ? kedua anak kecil itu lalu menjawab, maapkan aku Lembhu, aku tidak tahu dengan bapak ibuku, aku tidak tahu darimana asal usulku, demikian jawabnya, Ki Lembhu akhirnya memberikan penjelasan, bahwasanya tuanku adalah putra Sanghyang Pasupati, tuanku bernama Dhalem Kembar (Dhalem Ireng dan Dhalem Sweta), kisah tentang kelahiran tuanku berdua yaitu tuanku yang lahir dari batu disebut Dhalem Ireng, dan tuanku yang lahir dari buihnya air sungai disebut Dhalem Sweta, itulah sebabnya paduka disebut Dhalem Ireng dan Dhalem Sweta, namun ijinkan saya memberikan nasehat kehadapan paduka berdua bahwasanya paduka berdua tidak seyogya memerintah bersama-sama, yang patut memegang tapuk pemerintahan adalah paduka Dhalem Ireng, sebab paduka adalah penjelmaan Sanghyang Wishnu sudah sewajarnya memegang pemerintahan, demikian petuah Ki Lembhu. Kedua Dhalem lalu bertanya, dimanakah seharusnya saya memegang tapuk pemerintahan?, Ki Lembhu memberikan penjelasan : sebab paduka lahir dari batu apabila ada batu yang berwarna mengkilap saat diterpa sinar matahari, disanalah seharusnya paduka mendirikan pemerintahan, kemudian tempat itu berilah nama Batu Maklep, demikian hatur Ki Lembhu kehadapan Dhalem Ireng.

Sekarang diceritrakan Dhalem Kembar bersama Ki Lembhu berjalan menuju arah barat daya, dalam perjalanan Ki Lembhu tak henti-hentinya memberikan petunjuk, bahwa pada saatnya nanti sudah sampai pada tujuan ayahnda akan hadir, dan tempat itu berilah Taro dan sesungguhnya saya ini adalah Ki Lembhu Nandhini, setelah demikian bertutur kata secara kasat mata Ki Lembhu tidak nampak lagi dari pandangan.

Setelah matahari tepat berada di atas Katulistiwa (tajeg surya) Dhalem Kembar secara tiba-tiba mendengar suara sayup-sayup (sabda mantara) yang mengisyaratkan : ‘Hai anaku Dhalem Sweta engkau tidak patut memegang pemerintahan, hanya engkau Dhalem Ireng yang seyogyanya memegang pemerintahan. Setelah Dhalem Kembar mendengar sabdha yang demikian itu, lalu keduanya saling membuat perjanjian dengan berintikan yaitu : sebab aku dan engkau adalah lahir menjadi saudara kembar, semoga tidak pernah berpisah dan semoga dikemudian hari bisa bertemu kembali, demikian perjanjian antara Dhalem Sweta dengan Dhalem Ireng. Hal kian Dhalem Sweta mohon pamit dan melanjutkan perjalanan ke arah barat daya, menyelusuri hutan rimba yang lebat, ditengah hutan belantara rasa haus, lapar dan dahaga tidak tertahankan, menye­babkan jasmaninya lemah lunglai tidak mampu lagi melanjutkan perjalanan, hingga akhirnya Dhalem Sweta terduduk istirahat, seolah-olah teringat akan pesan Ki Lembhu, bahwa dirinya adalah putra Hyang Pasupati, namun secara tiba-tiba pada tempat istirahat tersebut tersembur air jernih, dengan sigap air tersebut segera diminumnya, sehingga tenaganya dirasakan pulih kembali, karena keluarnya air tersebut dari batu selagi mengenang Sanghyang Pasupati, maka tempat itupun diberi nama Batu Hyang, mulai saat itulah banyak orang-orang Bali menghambakan diri pada Dhalem, lalu Dhalem bersabda: hai kau orang-orang Bali, karena kamu bhakti padaku dan karena engkau telah memahami hakekat bhakti kepadaku, maka sepantasnya tempat ini aku berinama Batu Aji, setelah demikian akhirnya Dhalem melanjutkan perjalanan menuju arah barat, setelah sampai di tempat tujuan, disanalah beliau melepas lelah bersenang-senang, kemudian disana beliau men­dirikan tempat pemukiman, lalu Dhalem bersabdha : Hai kamu para hamba sahajaku sekalian, mulai saat ini tempat ini aku beri nama Antiga, dirasakan tempat itu sangat indah diterangi oleh sinarnya bulan, yang menyebabkan hati beliau terpesona dengan keindahan alamnya, kemudian nama Antiga diganti oleh beliau menjadi Batu Bulan, kemudian beliau melanjutkan perjalanan menuju barat daya, dalam perjalanan yang melelahkan itu, beliau melihat serumpun bambu yang menjulang tinggi bagaikan menyundul langit, pohon bambu tersebut lalu dikutuk menjadi tempat yang luhur (tinggi), yang dikemudian hari akan terwujud sebuah kahyangan bernama Ulu Watu (nama watu disesuaikan dari kelahiran Dhalem berasal dari watu).

Sekarang kembali diceritakan Dhalem Ireng, karena terlalu lama beliau memimpin pemerintahan, tiba-tiba beliau teringat dengan saudaranya Dhalem Sweta, kata lubuk hatinya, apakah gunanya aku memegang pemerintahan, bila tidak mengetahui keberadaan saudaraku, niscaya kekuasaanku tidak ada artinya, demikianlah kata hati beliau, sehingga hasrat dalam pikirannya memutuskan untuk pergi mencari kakaknya Dhalem Sweta, sehingga beliau pergi menuju arah barat. Tidak diceritakan dalam perjalanan akhirnya beliau tiba pada suatu tempat dan bertemu dengan orang-orang desa, lalu Dhalem Ireng bertanya : apakah gerangan nama tempat ini ?, orang desa tersebut lalu menjawab, ya tuanku tempat ini bernama Batu Hyang, karena dulunya atas kutukan Dlialem Sweta, demikian jawaban orang desa tersebut, dimanakah Dhalem Sweta sekarang, demikian pertanyaan Dhalem Ireng, kalau tidak salah Dhalem Sweta sekarang berada di Batu Aji, demikian jawabannya. Setelah mendengar jawaban yang demikian itu, dengan tergesa-gesa pergi menuju desa Batu Aji, dengan harapan akan dapat bertemu dengan kakaknya Dhalem Sweta, entah berapa lama perjalanan beliau, sampailah pada tempat yang dituju, dengan segera beliau lalu bertanya : dimanakah gerangan keberadaan Dhalem Sweta, tuanku kiranya Dhalem Sweta kini berada di desa Batu Bulan, demikian jawaban yang diperolehnya, akhirnya dari desa Batu Aji beliau menuju desa Batu Bulan, namun sayang sekali Dhalem Sweta sudah meninggalkan desa Batu Bulan, dan dari desa Batu Bulan terbetik berita bahwa Dhalem Sweta berada di desa Sakyamuni (sekarang Sakenan), setelah sampai di Sakenan beliau bertemu dengan Ki Dhukuh, lalu bertanya, ya paman Dhukuh, dimanakah gerangan keberadaan Dhalem Sweta ? ya tuanku Dhalem Sweta sekarang berada di desa Jimbaran, demikian jawaban Ki Dhukuh.

Sekarang diceritakan Dhalem Ireng dengan segera menuju desa Jimbaran, pada saat yang baik itu beliau bertemu dengan hamba sahaja (dayang) Dhalem Sweta, dimana dayang tersebut sedang mempersiapkan santapan yang akan disuguhkan kepada majikannya Dhalem Sweta, dengan melihat santapan tersebut tiada tertahan napsunya untuk menikmati, maka dengan lahapnya Dhalem Ireng menyantap hidangan tersebut, terkejutlah si dayang yang bernama Ni Pring Gading, lalu bertanya : tuanku siapakah gerangan tuan, hamba tidak mengenal tuan sebelumnya, mengapa tuan berani memakan santapan yang akan kami hidangkan untuk tuan hamba Dhalem Sweta, mendengar kata Ni Pring Gading yang demikian itu, mendadak Dhalem Ireng berhenti menyantapnya, lalu beliau bertanya : Hai dayang dimanakah kini berada Dhalem Sweta, ya tuanku beliau kini berada di tempat pagagan (ladang padi gaga), demikian jawab si dayang, dengan segera Dhalem Ireng berjalan menuju tempat pagagan, namun Dhalem Sweta tidak pula dijumpai, sebab Dhalem Sweta sudah kembali menuju desa Jimbaran, dalam perjalanan pulang beliau sempat menyinggahi ladang orang-orang kampung, namun setelah tibanya Dhalem Sweta di istana, dengan sangat hormat dayang Ni Pring Gading humatur, maaf kan tuanku Bhatara Dhalem Sweta, ijinkan hamba melaporkan kehadapan duli tuanku, bahwasanya ada seorang yang datang dengan bentuk tubuh besar, tinggi kekar rupanya bagaikan setan, orang tersebut telah berani lancang membuka langsung menyantap santapan tuanku raja, tiada tertahan takut hati hamba, dan lagi pula orang tersebut menanyakan paduka tuanku raja, mendengar hatur si Dayang yang demikian itu, sungguh tiada tertahan murkanya Bhatara Dhalem Sweta dan dengan segera kembali lagi ke tempat pagagan, hal kian sampailah pada tempat pegagan dan bertemu dengan Dhelem Ireng, karena saking emisionalnya pertempuran kedua belah pihak tidak dapat dihindari, perang tandingpun terjadi, sama-sama bersenjatakan keris, saling tusuk, namun keduanya tidak terlukai karena sama-sama kebal, karena tiada yang terkalahkan, akhirnya kedua belah pihak sama- sama kepayahan, dalam pada itu beliau berdua saling tegur sapa, siapakah gerangan anda, aku bernama Dhalem Ireng, aku Dhalem Sweta, setelah bertegur sapa, barulah menyadari tentang asal-usul dan pesan Ki Lembhu Nandhini pada waktu yang lampau, bahwa kelahirannya berdua adalah kembar putra dari Sanghyang Pasupati yang masing-masing membawa senjata yaitu : Dhalem Sweta bersenjatakan Keris Kala Katenggeng, dan Dhalem Ireng bersenjatakan Keris Miring Agung, barulah beliau menyadari bahwa yang diajak perang tanding adalah saudaranya sendiri, sehingga suasana berubah dari tegang menjadi terharu, sama-sama menceritrakan pengalaman masing-masing. Akhirnya Dhalem Ireng berkata kepada kakaknya Dhalem Sweta. Ya kakakku Dhalem Sweta, banyak sekali kakanda memberikan nama desa dan yang terakhir kanda berada di desa Jimbaran, sudah seyogyanya kanda disebut Dhalem Putih Jimbaran, sekarang ijinkanlah saya mohon pamit, saya pun juga berniat memberikan nama suatu tempat/desa yang bercirikan Watu, yang merupakan ciri bahwa aku pernah melintasi daerah tersebut.

Dan kini ijinkan adinda menuju ke arah utara, kalau demikian baiklah, namun kanda mohon tempat kita berperang tadi kita namakan “BUKIT KALI”.

Kini diceritakan Dhalem Ireng berjalan menuju ke arah utara, setelah lama berjalan, lalu beliau menjumpai areal kebun kelapa, namun tiba-tiba air lautan menyemburkan gelombang, menyebab­kan hatinya sangat marah, Dhalem Ireng, lalu tempat itu dikutuk diberi nama Seseh, dari Seseh beliau melihat ke arah timur, terlihat warna tanah yang putih, tanah itu diungsi oleh beliau, akhirnya sampailah beliau pada tanah yang warnanya putih dan beliau terkejut pada saat menginjakkan kakinya pada sebuah batu tiba- tiba batu tersebut berlobang, sehingga tempat itu beliau kutuk bernama Batu Nyorong atau Batu Bolong, dari Batu Bolong Dhalem Ireng lagi melanjutkan perjalanan menuju ke arah timur, dalam perjalanannya beliau melalui batu yang licin sehingga kakinya terpeleset ke dalam air, dengan segera pula memberikan kutukan, bahwa pada tempat beliau terjatuh diberi nama Batu Belig, dari Batu Belig lagi beliau melanjutkan perjalanan ke arah timur, ditengah perjalanan yang melelahkan tiba-tiba beliau jatuh terkulai (ulung = Bhs. Bali). Maka tempat itu diberi nama Batu Tulung.

Dari Batu Tulung beliau menempuh perjalanan yang cukup jauh sehingga rasa haus dan dahaga tiada tertahankan, akhirnya beliau memuja kebesaran Tuhan memohon karunianya, seketika itu pula tersemburlah air, lalu diminumnya, sehingga rasa haus dan dahaganya hilang, maka tempat itu diberi nama Batu Bedak (sekarang lebih dikenal dengan sebut Batu Bidak).

Sekarang dikisahkan beliau Dhalem Ireng dari Batu Bedak melanjutkan perjalanan menuju ke utara dan akhirnya sampailah beliau di wilayah Bukit Asah, dari ketinggian bukit itu beliau melihat jurang yang dalam melihat dari mata bhatinnya, tempat itu sangat religious, disanalah beliau beryoga samadhi, dalam alam yoganya muncullah Dhalem Bali, Panca Wishnu, Panca Dewata, lalu terdengar sabdha mantara yang sayup-sayup yang bunyinya : Hai anaku Dhalem Ireng, aku ini adalah ayahndamu Sanghyang Pasupati, aku juga disebut Sanghyang Lingga Bhuwana, ayahndamu ini berstana di Pucak Candi Purusada, tempat ini aku beri nama BATU PUCAK KEMBAR, semoga sepanjang jaman menjadi kahyangan, sebagai sarana umat manusia menghaturkan rasa syukur dan bhaktinya melakoni kehidupannya. Hai anaku Dhalem Ireng, aku juga berkahyangan di gunung Agung (Tohlangkir). Apabila aku berkahyangan di gunung Watukaru aku disebut Hyang Jaya Netra, apabila aku berkahyangan di Bukit Jati aku disebut Hyang Ciwa Pasupati, bila aku berkahyangan di Gunung Trate Bang (trate = tunjung) dan (Bang = merah), maka aku disebut Hyang Besa Warna, apabila aku berstana di gunung Bratan aku disebut Hyang Danawa, demikianlah agar kamu mengingat selalu, lalu Dhalem Ireng bertanya : Maapkan paduka Bhatara, apakah sebabnya tempat ini disebut Batu Pucak Kembar?, demikian pertanyaan Dhalem Ireng, kemudian dijawab oleh Paduka Hyang Lingga Bhuwana, yang berstana di Pucak Candi Purusada yang berlokasi di desa Kapal, hai anaku Dhalem Ireng, karena engkau dilahirkan kembar, disini telah terwujud suatu bhukti saksi dua buah batu, itulah sebabnya dinamakan Batu Pucak Kembar (batu tersebut kini berada di Taman Cakra. Pent). Demikian konon sabdha Sanghyang Pasupati kepada anaknya Bhatara Dhalem Ireng, pada saat itu menunjukkan tahun saka 322 atau tahun 400 masehi mulainya keberadaan Batu Pucak Kembar atas wara nugraha Sanghyang Lingga Bhuwana/Hyang Pasupati kepada Dhalem Ireng, pada saat itu kembali Sanghyang Pasupati memberikan titah kepada anaknya Dhalem Ireng, anaku Dhalem Ireng, berangkatlah dengan segera ke Bukit Uluwatu, setelah kamu sampai disana berkemaslah untuk menyatukan pikiran dengan sarana beryoga samadhi, biar kamu cepat menyatu kehadapan Sang Pencipta, setelah mendengar petunjuk Sanghyang Pasupati yang demikian itu, lalu beliau bergegas pergi menuju Bukit Uluwatu, disana beliau Dhalem ireng berkonsentrasi menyatukan bayu sabdha idhep dengan yoga samadhi, tiada terceritrakan yoganya berhasil, akhirnya Dhalem Ireng moksah menyatu kehadapan Sanghyang Acintya. Demikian Purana Batu Pucak Kembar keberadaannya kini di Bukit Asah.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *