Raja Purana Pura Luhur Pucak Kembar

CIKAL BAKAL BERDIRINYA
PURA LUHUR PUCAK KEMBAR

Sebelum lebih lanjut kita membicarakan tentang berdirinya Pura Luhur Pucak Kembar, ada baiknya kita terlebih dahulu kita memahami arti sebuah Prasasti. Seperti dijelaskan di depan bahwa menurut Prof. Drs. S. Wojowasito dalam bukunya Kamus Jawa Kuno, dijelaskan bahwa prasasti itu bermakna suatu Piagam atau surat keputusan. Keputusan yang dimaksud tentunya dari seorang penguasa / dari seorang Resi kepada penduduk di suatu wilayah yang diserahi tugas-tugas tertentu, seperti memelihara, mengempon dan melaksanakan sesuatu hal yang berkaitan dengan yadnya sampai seketurunannya.

Sebagai suatu contoh seperti Prasasti Batur Abang A.I. Saka 933, yang bunyinya antara lain: Mwang yan pakaryya-karyya, masanga kunang wgila ya manawunga makantang tlung parahatan,

ithaninya, tan pa mwita, tan pawwaca ring nayakan saksi…………….. dst,

yang artinya : LAGI PULA BILA MENGADAKAN UPACARA MISALNYA TAWUR KASANGA PATUTLAH MENGADA­KAN SABUNGAN AYAM TIGA SEHET (Party) DI DESANYA, TINDAKLAH MINTA IJIN/MEMBERITAHUKAN KEPADA YANG BERWENANG….” ini jelas merupakan suatu piagam atau surat keputusan dari seorang penguasa kepada masyarakat desa Batur Abang pada jaman itu, demikian juga pada jaman dahulu peristiwa serupa terjadi pula pada Pura Luhur Pucak Kembar terdapat suatu bhisama kepada penduduk desa Pacung untuk memelihara dan mengempon Pura Luhur Pucak Kembar.

Sebagai cikal bakal berdirinya Pura Luhur Pucak Kembar tersebutlah seorang Brahmana Rsi yang bernama Rsi Madhura yang bermukim di daerah Jawa Timur yaitu di Gunung Raung, beliau mempunyai seorang panakawan bernama I Patiga, dimana beliau sudah sering datang ke bhumi Banten (Bali). Pada saat sang Rsi beryoga samadhi, tiba-tiba terdengar sayup-sayup sabdha mantara : Hai anaku, dengarkanlah kata-kataku ini, segeralah kamu turun ke Bhumi Bangsul (Bali). Adapun yang pertama kamu menginjak­kan kaki di gunung Bratan dari sanalah kamu memulainya, ya paduka Bhatara hambamu akan melaksanakan titah paduka Bhatara, tetapi hambamu tetap mohon doa restu paduka. Setelah mohon doa restu berjalanlah sang Rsi diiringi panakawannya pada hari Sabtu wara Ukir tanggal ping 10, tidak diceritrakan dalam perjalanan dari pulau Jawa menuju pulau Bali, kini diceritrakan beliau telah menginjakkan kakinya di pulau Bali pada hari Kamis Paing, wara Sungsang, pananggal ping 13, sasih Kalima, rah 3, saka warsa Caksu Windhu Agni Candra, menurut perhitungan Candra Sangkala mengejanya dari belakang, dimana Caksu = 2. Windhu = 0, Agni = 3, Candra = 1. Seperti kami sebutkan di atas karena mengeja dari belakang, maka beliau sang Rsi tiba di gunung Bratan adalah tahun caka 1302 atau tahun 1380 masehi dimana tempat yang dituju adalah Pucak Manik, disanalah sang Rsi dengan I Patiga membuat Ulon (Pucak) dan kemudian tempat tersebut dinamakan Pucak Rsi (sekarang lebih dikenal dengan nama Pucak Sangkur) yang merupakan tempat pemujaan Sanghyang Siwa Pasupati, setelah rampung ulon yang dikerjakan tersebut, beliau melanjutkan perjalanan menuju arah Barat Daya tidak dirasakan telah memasuki hutan yang lebat dalam bayangan bhatin beliau terlihatlah sekuntum bunga teratai merah, sehingga tempat tersebut dinamakan Trate Bang. Pada Trate Bang sang Rsi juga membuat tempat pemujaan Sanghyang Besa Warna.

Setelah beliau selesai membuat tempat pemujaan di Trate Bang, sekarang sang Rsi melanjutkan perjalanannya ke arah selatan diiringi oleh pangiringnya, hal kian dalam perjalanan sampailah beliau di Bukit Asah, ditempat inilah beliau melepaskan lelah bersama dengan pangiringnya.

Kini tersebut I Gusti Ngurah Pacung keturunan dari Arya Sentong yang menguasai wilayah Bukit Asah Pacung, setelah beliau mendengar kedatangan sang Rsi, betapa senang dan bahagianya hati beliau, dengan terburu-buru I Gusti Ngurah Pacung menuju tempat sang Rsi beristirahat di Bukit Asah, setelah beliau sampai disana maka tegur sapa pun dimulai, pembicaraan kedua belah pihak berlangsung sangat intim, karena hal ini kemungkinan sudah menjadi kehendak Yang Maha Kuasa, dalam perbincangan tersebut akhirnya sang Rsi mohon kepada penguasa wilayah Bukit Asah untuk mendirikan parhyangan, berkatalah sang Rsi : ya tuanku raja yang menguasai wilayah ini, perkenankanlah permo­honan hamba akan mendirikan pangastawan/parhyangan, bagai­mana kiranya pendapat tuanku raja ?, I Gusti Ngurah Pacung lalu menjawab : ya, tuanku sang acaryya (Pendeta Rsi) kalau memang benar demikian kehendak Sang Rsi, itu adalah sangat tepat/benar sesuai dengan petunjuk sastra Agama, kalau demikian lanjutkanlah cita-cita tuanku Rsi hambamu merestui, hamba akan membantu dengan tenaga kerja 200 orang untuk merabas kayu-kayu yang ada di Bukit ini, demikian hatur I Gusti Ngurah Pacung dengan julukan Arya Sentong. Akhirnya sang Rsi mengucapkan terima kasih kepada penguasa wilayah Bukit Asah, atas perkenannya dan sang Rsi pun tiada lupa mohon cinta kasih kepada paduka raja.

Setelah kemupakatan kedua orang terpandang tersebut untuk membangun parhyangan, akhirnya para pekerja lalu merabas hutan belantara, entah berapa hari lamanya, setelah rata tanah untuk mendirikan parhyangan/pemujaan, akhirnya dengan suka cita masyarakat, sang Rsi dan I Gusti Ngurah Pacung mendirikan Parhyangan. Alkisah parhyangan tersebut telah rampung dikerja­kan, sang Rsi selanjutnya melakukan yoga samadhi untuk memo­hon kepada Yang Maha Kuasa tentang nama pemujaan yang telah dibangun. Sedang khusuknya sang Rsi beryoga, terdengarlah sayu- sayup sabdha mantara : Hai anaku, aku adalah Sanghyang Lingga Bhuwana/Sanghyang Pasupati, aku bersthana di Pucak Candi Purusada di desa Gelgel wilayah Kapal, tempat ini berikan nama Pucak Kembar, lalu Sang Rsi umatur; Ya, Tuhanku yang Maha Kuasa, apakah sebabnya parhyangan ini disebut Pucak Kembar?, anaku sang Rsi dengarlah baik-baik wejangan Ku ini, dahulu kala tersebutlah Dhalem Ireng dan Dhalem Sweta ia berdua dilahirkan kembar, tetapi Dhalem Ireng yang dikodratkan menginjakkan kakinya di Bukit ini, karena ia membuat tempat ini dengan bercirikan watu, pada saat itulah Aku memberikan tempat ini nama Batu Pucak Kembar, dan ada cirinya dua buah batu yang berkembaran. Ya, Tuhanku, siapakah gerangan yang hamba puja di tempat ini ? Sanghyang Lingga Bhuwana bersabdha, Hai anaku, parhyangan ini adalah stana dari Bhatara Gede Sakti Amurbeng Rat, sudah sewajarnya disembah oleh seluruh umat, demikian sabdha Sanghyang Lingga Bhuwana, kalau demikian hambaMu melaksanakan titah paduka Bhatara.

Sekarang dikisahkan sang Rsi dengan arya Sentong beserta dengan para pengiringnya mempersiapkan upacara Bhuta Yadnya, pada sasih Kapat, tahun Saka BAHNI BHUJANALARUPA(Bahni = 3, Bhuja = 2, Nala = 3, dan Rupa = 1) atau tahun saka 1323, atau tahun 1401 masehi.

Setelah selesai upacara tersebut di atas, berkatalah Sang Rsi kepada I Gusti Ngurah Pacung, wahai paduka I Gusti Ngurah Pacung, parhyangan ini agar berkenan kiranya paduka sebagai pengukuh untuk selama-lamanya bersama dengan masyarakat Pacung, demikian yang hamba harapkan kepada paduka. Berkatalah i Gusti Ngurah Pacung, ia Sang Acarya hamba akan memenuhi sesuai dengan permintaan Sang Rsi yaitu sebagai pemucuk seturun- turunan hamba bersama penduduk desa Pacung, untuk menjaga dan melestarikannya lebih-lebih dalam hal Dewa Yadnya. Demikian perjanjian (bhisama) kedua orang terpandang itu dijaman dahulu (yang sampai saat ini masih berjalan sangat harmonis, walaupun di desak oleh perubahan jaman seiring dengan perjalanan waktu, Pent.)

Setelah sang Rsi dan I Gusti Ngurah Pacung (arya Sentong) mendeklarasikan perjanjian (bhisama) tersebut di atas, terdengarlah sabdha oleh kedua orang penting itu, sabdha tersebut adalah : hai engkau berdua ingatlah untuk selama-lamanya, kahyangan ini juga stana dari Hyang Tri Murti Sukla Dewi (Hyang Sari Mentik, Hyang Sri Mentik Sari dan Hyang Sari Mandel) yang merupakan manifes­tasi Tuhan Yang Maha Esa yang mengayomi di bidang pertanian, ketiganya beliau itu berasal dari Hutan Sari Sangeh. Itulah sebabnya menurut Purana Pura Luhur Pucak Kembar, selain sebagai tempat pemujaan Bhatara Gede Sakti Amerbeng Rat, juga merupakan tempat berstananya Bhatari Ulun Suwi, yang diwujudkan pada meru tumpang 9, yang merupakan stana dari Hyang Tri Murti Sukla Dewi, parhyangan sebagai wujud sembah bhaktinya para Krama Subak.

Setelah selesai demikian sang Rsi bersama dengan pangiringnya melanjutkan perjalanan menuju desa Bading Kayu wilayah Negara.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *