TAPAKAN NAWASANGA
Sesungguhnya antara kata Nawa dan Sanga mempunyai arti yang sama (HANONIM) yaitu sembilan, kiranya itu menunjukkan penegasan suatu makna dari suatu objek tertentu.
Sebelum lebih lanjut kita membicarakan sekilas tentang Tapakan Nawa Sanga di Pura Luhur Pucak Kembar, alangkah baiknya kita menoleh ke belakang kapankah seni budaya topeng (tapel) berkembang di Pulau Bali dan asal kata dari topeng tersebut.
Kata topeng mempunyai beberapa pengertian yaitu :
- Topeng merupakan suatu benda penutup muka. Disini yang dimaksud “Tutup” yang dipakai untuk menutupi muka manusia sehubungan dengan ini BERLY de ZOETE dan WALTER SPIES, dalam bukunya yang berjudul Dance and Drama in Bali, mengemukakan bahwa : for topeng simply means something pressed against the face, i, e, a, mask “dalam uraian tersebut bahwa : topeng adalah suatu benda yang ditekan pada muka yaitu tapel
- Kata topeng berasal dari kata “TUP” yang berarti tutup, karena terjadi gejala formatif form, kata tup ditambah dengan kata “ENG” yang kemudian menjadi Tupeng, yang selanjutnya mengalami perubahan menjadi Topeng.
Bentuk Topeng adalah bermacam-macam seperti bentuk binatang, manusia, dewa, pewayangan dan lain-lain sehingga pengertian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa topeng di Bali adalah suatu Dramatari, yang semua penarinya memakai tapel dengan lakon berapa Babad atau sejarah.
Kiranya perlu kita melihat kembali peninggalan-peninggalan kuno seperti Rontal, prasasti, relief, seperti di Jawa ada prasasti yang mengungkapkan pertunjukan Seni Topeng yaitu pada prasasti Jaha di Jawa Tengah yang bertariks 840 Masehi yang dikeluarkan oleh raja Sri Loka Pala, yang menguasai daerah Kuti, dimana dalam prasasti ada disebutkan kata “ATAPUKAN” yang berarti Seni Pertunjukan topeng.
Demikian juga pada Prasasti Balitung (Jawa Tengah) yang bertariks 907 masehi juga diketemukan hal yang sama seperti prasasti Jaha. Di Bali juga diketemukan sebuah prasasti yaitu prasasti Bebetin yang menyebutkan kata “PARTAPUKA” artinya topeng/tapel yaitu di Singha Mandawa yang dibuat pada bulan BESKHA (bukan ke 10) pada tahun 896 masehi yaitu pada pemerintahan Raja Ugrha Sena di Bali.
Masih banyak prasasti di Bali yang menyebutkan kata “ATAPUKAN” yang berarti tari dengan menggunakan topeng seperti prasasti Gurun Pai desa Pandak Bandung tahun 1045 masehi, prasasti Blantih tahun 1059 masehi. Jika kita melihat kesusastraan Jawa Kuno terutama pada jaman keemasan Majapahit yaitu pada kitab pararaton ada di sebutkan istilah “ANAPUK”, sedangkan pada kitab Kidung Sunda menyebutkan topeng sebagai “ANAPEL”, demikian juga pustaka Negara Kertagama menguraikan topeng sebagai raket yang artinya melekat pada muka.
Dari hal tersebut diatas dapat kami simpulkan bahwa kebudayaan topeng dari bahan kayu pertama kali di Jawa dibuat pada tahun 840 masehi, sedangkan di Bali budaya topeng dimulai pada tahun 896 masehi pada jaman pemerintahan Shri Ugrasena, yang terbatas pada topeng seni Pertunjukan dengan menokohkan orang-orang penting pada zaman itu yang tanpa dihiasi dengan warna-warna tertentu. Selanjutnya budaya pembuatan topeng mengalami kemajuan seperti di cat dengan warna-warna tertentu sehingga timbul kesan lebih hidup dan karismatik, selanjutnya topeng mulai disakralkan sebagai wahana/objek tempat memusatkan pikiran kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, sehingga sering diistilahkan oleh orang-orang Bali Tapakan Ida Bhatara, sebagai nama halnya yang terdapat di Pura Luhur Pucak Kembar, Pura Luhur Pucak Padang Dawa dan Pura Luhur Natar Sari Apuan terdapat tapakan Nawa Sanga (secara klasikal disebut Wayang Wong) dan rnenurut pandangan kami tapakan dari ketiga Pura tersebut bersifat spesifik karena tidak terdapat pada daerah lain terutama perlengkapannya (bhusana).
Pada rontal Patapukan tapakan yang demikian (Nawa Sanga) juga disebut Tapakan “GUNUNG SIA” yang dijelaskan disana bahwa kata Gunung berarti Tuhan sedangkan sia berarti sembilan, sehingga dengan demikian besar kemungkinan maksud dari kata Nawa Sanga atau Gunung Sia adalah merupakan perwujudan dan manifestasi Tuhan dalam bentuk Dewata Nawa Sanga, yang disimboliskan dengan Tokoh pewayangan seperti Rahwana, Sangut, Delem, Kera (Wre).
Kesembilan Tapakan tersebut sesuai dengan situs pengideran adalah :
- Anoman, warnanya putih, sebagai perlambang/perwujudan Sanghyang Iswara, senjatanya Bajra, aksara “Sang’, letaknya di timur.
- Menda, warnanya merah muda, sebagai perlambang/perwujudan Sang Hyang Maheswara, dengan Senjata dupa, aksaranya “Nang”, letaknya di Tenggara.
- Anggada dan Anala, warna merah, sebagai prelambang/per- wujudan Sanghyang Brahma, senjatanya Gada, aksara “Bang”, letaknya di selatan.
- Sugriwa, dengan wamajingga, sebagai prelambang/perwujudan Sanghyang Ludra, senjatanya Mosala, aksaranya “Mang”, letaknya di Barat Daya.
- Sangut, dengan warna kuning, sebagai prelambang/perwujudan sanghyang Mahadewa, senjatanya Nagapasa, aksaranya “Tang”, letaknya di Barat.
- Anila, warnanya Wilis, sebagai prelambang/perwujudan Sanghyang Sangkara, senjatanya Angkus, aksaranya “Cing” letaknya di Barat Laut.
- Delem, warnanya hitam, sebagai prelambang/perwujudan Sanghyang Wishnu, senjatanya cakra, aksaranya “Ang” letaknya di Utara.
- Rahwana, dengan warna abu-abu, sebagai prelambang / perwujudan Sanghyang Cambhu, senjatanya Tri Sula, aksaranya “Wang” letaknya di Timur Laut.
- Rahwana, dengan Warna Manca Warna, sebagai prelambang/ perwujudan Sanghyang Ciwa, senjatanya padma, aksaranya “Ing dan Yang”, letaknya di tengah.
Rahwana mengisi dua tempat seperti tersebut di atas, karena hal ini sangat relevan dengan konsepsi Sad Winayaka yaitu Cambhu sebagai Siwa atau sebaliknya. Kenapa Tapakan tersebut mentokoh- kan antara dua pihak yang berbeda (pihak adharma dan dharma kalau di tinjau dari konteks cerita Ramayana) jelas ini merupakan simbul dari Rwa Bhineda, di mana selain sebagai kreatifitas seni, adalah juga sebagai pralingga yang disucikan untuk memohon keselamatan lahir dan bhatin bagi masyarakat sebagai simbul kekuatan Tuhan dan pada sisi lain sebagai suatu konteks penghayatan umat kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang memiliki kekuatan magis dan religius yang nantinya mampu mengikat Sradha umat.
Jika kita menilik dualisme ajaran Samkhya menumbuhkan evolusi setelah adanya Samyoga yang merupakan pertemuan kedua unsur yang berbeda, dimana pertemuan itu membawa perubahan pada kedua unsur yang berbeda, dimana pertemuan itu membawa perubahan pada keseimbangan, hingga berlaku hukum gerak dan berubah mengalami perkembangan. Sehingga unsur Rwa Bhineda merupakan dua hakekat yang dalam kehidupan manusia merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisah-pisahkan, bahkan merupakan unsur yang membangun kehidupan.
Itulah kiranya yang dijadikan landasan pembuatan tapakan Luhur Pucak Kembar, Pura Luhur Pucak Padang Dawa dan Pura Pucak Natar Sari dengan menokohkan Rahwana bersama pengiringnya di pihak adharma dan Wre (kera) dipihak dharma, sebagai mana halnya sama dengan Barong dan Rangda.