Pura Dalem Balingkang

Melacak Ihwal Pura Dalem Balingkang

REDITE Umanis Warigadian atau Minggu (2007/5/11) hari ini upacara piodalan di Pura Dalem Balingkang, Desa Pinggan, Kintamani, Bangli. Lokasinya, dari Denpasar mengikuti jalur Denpasar-Singaraja lewat Kintamani, dan di Pura Pucak Panulisan menuju arah timur laut kira-kira 15-20 km. Tempatnya sangat unik dikelilingi Sungai Melilit, yang dianggap sebagai benteng utama menuju ke Kerajaan Balingkang. Bagaimana sesungguhnya ihwal Pura Dalem Balingkang ini?

Dalam Prasasti Sukawana (Goris, 1954) disebut, Desa Sukawana diserang hujan badai dan Keraton Jaya Pangus hancur, sehingga jong les pindah ke Balingkang. Keberadaan Pura Dalem Balingkang (PDB) sebagai pura maupun sebagai Keraton Raja Bali Kuna tercatat pula dalam “Pengeling-eling Desa Les-Penuktukan, Tejakula, Buleleng” yang dikeluarkan oleh Raja Jaya Kasunu sekitar abad ke-11. Ia tercatat sebagai leluhur Raja Jaya Pangus Harkajalancana.

Masyarakat Bali dewasa ini terbagi menjadi dua kelompok utama — Bali Mula (Aga) dan Bali Majapahit. Prof. Dr. I Gusti Bagus (alm.) dalam tulisannya “Kebudayaan Bali” (1979) menyebut, masyarakat Bali Mula mendiami daerah pegunungan di Bali, sedangkan Bali Majapahit mendiami daerah dataran. Bahasanya pun berbeda, disebut “omong negari” dan “omong pojol” oleh masyarakat Bali Mula.

Dua Permaisuri

Dalam konteks PDB, nama balingkang berasal dari kata “bali + ing kang”. Secara tuturan dan bukti tertulis, ini dikaitkan dengan pernikahan Raja Jaya Pangus Harkajalancana yang memerintah pada tahun saka 1103-1191 atau 1181-1269 Masehi. Raja Jaya Pangus punya dua permaisuri, Paduka Bhatari Sri Parameswari Indujaketana dan Paduka Sri Mahadewi Cacangkaja Cihna — (Cihna-Cina). Dalam cerita rakyat yang berkembang disebut, istri Cinanya bernama Kang Ci Wi, putri Tuan Subandar pedagang dari Cina. Maka digabunglah Bali-Ing-Kang jadi Balingkang.

Masyarakat Bali Kuna di sekitar Danau dan Gunung Batur tercatat amat sulit ditundukkan oleh Raja Sri Kresna Kepakisan yang ditempatkan oleh Maha Patih Gajah Mada. Sampai dewasa ini, mereka amat sulit terpengaruh oleh budaya Hindu Majapahit. Sampai tahun 2006 ini, Pura Pucak Panarajon belum mau menggunakan Ida Pedanda sebagai Sang Trini-nya, tetap menggunakan Jro Mangku dan Jro Kebayan dengan upacara podgala atau mewinten pang solas.

Masyarakat Bali Mula di sekitar Danau Batur menyebut dirinya dengan Gebog Domas (Kelompok Delapan Ratus). Kelompok ini dibagi jadi empat bagian Gebog Satak (Dua Ratus) Sukawana, Kintamani, Selulung dan Bantang. Kelompok ini memiliki Tri Kahyangan yakni

  1. Pura Pucak Panarajon sebagai pusatnya terletak di Sukawana, Kintamani, dengan tiga tingkatan pura yang disebut Gunung Kahuripan. Tingkatannya, Pura Panarajon (Ida Bhatara Siwa Sakti), Pucak Panulisan (sejajar dengan pusat pemerintahan — dulu sebagai keraton Raja Jaya Pangus), dan Pucak Wangun Hurip (simbol membangun kehidupan).
  2. Pura Bale Agung di Sukawana dengan Ida Bhatara Ratu Sakti Kentel Gumi, setara dengan Bhatara Brahma,
  3. Pura Pusering Jagat — Pura Puseh Panjingan di Desa Les-Penuktukan, Tejakula, Buleleng, berstana Ida Ratu Sakti Pusering Jagat setara dengan Bhatara Wisnu, dan
  4. Pura Dalem Balingkang berstana Ida Dalem Kepogan (Dalem Balingkang) setara dengan Dewa Siwa.

Kelompok Satak Sukawana terdiri atas beberapa desa di Kecamatan Kintamani dan Tejakula, Buleleng. Sebagai ikatan yang padu, Desa Pinggan ditugaskan oleh Sukawana sebagai kesinoman membawa surat ke kelompok Tejakula. Di Sukawana banyak ada peninggalan tanah pelaba pura, serta di Balingkang ada 175 ha. Rupanya secara diam-diam keduanya saling menguasai tanah itu.

Pada 1960, Sukawana menugaskan Pinggan mengirim surat ke kelompok Buleleng Timur. Surat itu “disembunyikan” sehingga semua warga Buleleng tak tahu ada upacara di Panarajon. Ini berlangsung sampai 1963, sehingga pada 1964 Sukawana malu menugaskan Pinggan. Akhirnya, kelompok pemuja PDB pada 1964 yakni Pinggan, Siakin, Tembok, Gretek Sambirenteng, Les-Penuktukan menyatakan keluar dari kelompok Sukawana dan membuat kelompok baru bernama Gebog Satak Balingkang.

Lalu, sejak 1964 kelompok pemuja Pura Pucak Bukit Indra Kila, Desa Dausa, Kintamani juga melepaskan diri dari Pura Panarajon.

PDB yang dipuja kelompok Gebog Satak Balingkang, juga dipuja oleh warga masyarakat di sekitar Desa Petak, Gianyar. Ini terjadi karena ada hubungan historis dengan keluarga Puri Petak Gianyar. Secara faktual, di utama mandala bagian sisi selatan ada kompleks bangunan pura lengkap dengan sanggar agung, meru 11 (tingkat 11), sebagai pemujaan Ida Dalem Klungkung (Raja Klungkung) dan meru 9 (tingkat 9) sebagai pemujaan pada Ida Dalem Bangli (Raja Bangli).

Menurut Ida Cokorda Dalem Balingkang dalam disertasinya di Surabaya pada 1989, menyebut tentang keberadaan leluhurnya di PDB serta fungsi meru 11 dan meru 9 di utama mandala. Dituturkan, semua itu ada kaitan dengan saat sesudah penyerbuan Panji Sakti ke Bintang Danu pada 1772. Waktu itu, Dewa Agung Mayun Sudha adalah Raja Pejeng, Gianyar. Ia diserang oleh penguasa dari Puri Blahbatuh, Puri Peliatan, Puri Gianyar, dan Puri Ubud.

Karena lawannya banyak, pasukan Puri Pejeng terdesak. Dewa Agung Mayun Sudha yang merasa terdesak, bersama piluhan anak buahnya lari menyelamatkan diri ke arah pegunungan. Rombongan ini bersembunyi di sekitar PDB yang saat itu bangunannya telah terbakar, tinggal dasarnya saja. Bersama rombongannya, Dewa Agung Mayun Sudha memimpin merabas hutan seluas 175 ha. Ia mengajak warga membangun kembali PDB sehingga pelan-pelan menjadi lengkap.

Setelah puranya dibangun, diadakanlah upacara dengan dukungan Raja Bangli serta Raja Klungkung. Akhirnya, hubungan Dewa Agung Mayun Sudha dengan Raja Bangli dan Raja Klungkung makin baik. Suatu hari, Dewa Agung Mayun Sudha memohon bantuan pada Raja Bangli dan Klungkung akan merebut kembali kerajaannya. Disarankan, agar diserang Desa Petak dulu, sebagai tempat berpijak. Dengan bantuan pasukan Raja Klungkung dan Bangli, Desa Petak yang terdiri atas sepuluh dusun dapat dikuasai, sehingga Dewa Agung Mayun Sudha berkuasa di sana.

Untuk mengenang dan memuliakan Ida Bathara Dalem Balingkang, maka Dewa Agung Mayun Sudha bergelar Ida Cokorda Putra Dalem Balingkang. Sampai saat ini, keluarga Puri Petak menjadi pemuja utama di PDB, selain Gebok Satak Balingkang.

Struktur Pura

Struktur PDB termasuk unik, karena dulu konon dijadikan istana raja yang menghindari serangan raja lainnya. Dalam beberapa pustaka ada disebut, PDB sebagai istana Raja Maya Danawa. Raja ini dikalahkan oleh Bathara Indra dari Tampaksiring. Namun dalam naskah lontar “Linaning Maya Danawa” dikisahkan Maya Danawa mati terbunuh oleh Ki Kebo Parud — utusan Raja Kerta Negara yang menyerang dari utara.

Dalam struktur PDB, di awal adalah kompleks Pura Tanggun Titi — ujung jembatan dan ada sumber air. Di sumber air ini kerbau disucikan sebelum mepepada. Di kompleks Pura Tangun Titi ada pemujaan Ratu Ngurah Sakti Tanggun Titi, Ratu Mas Melanting, Ratu Sakti Gede Penyarikan, dan Sang Hyang Haji Saraswati. Kompleks kedua setelah melewati tanah lapang yang dulu difungsikan membangun tempat penginapan, ada bangunan cangapit, yakni pintu masuk yang dilengkapi tempat duduk raja saat menyaksikan jro gede mepada mengelilingi pura.

Di jaba tengah, tak banyak bangunan, hanya ada paruman agung, stana Ida Bhatara Sami, serta palinggih Ratu Ayu Subandar. Palinggih ini sebagai pemujaan pada Kang Ci Wi dan ini amat diyakini oleh masyarakat Cina membawa berkah. Di kompleks utama atau jeroan, dibangun pemujaan Puri Agung Petak dengan meru 11 dan meru 9. Juga dibangun pemujaan Dalem Balingkang dengan gedong bata dan meru 7 — ini mengingatkan pada Sapta Dewata. Ada pula bangunan balai panjang bertiang 24, bertiang 20, dan balai mundar-mundar bertiang 16 (dibagi empat sisi, masing-masing bertiang 4).

* jro mangku
i ketut riana
Source : HDNet
http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2006/11/5/jak1.html

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *