Pura Penegil Dharma

Pura Penegil Dharma, Kubutambahan, Buleleng

 

Beberapa foto pura :

 

Indriyanam jaye yogam
Samatistheddivanisam.
Jitendriyo hi saknoti.
Vagesthapayitumprajah
(Manawa Dharmasastra, VII.44).

Maksudnya:

Siang dan malam terus berusaha mengendalikan indria sekuat tenaga. Kalau raja berhasil menundukan indrianya sendiri maka raja akan dapat membuat rakyatnya patuh pada kepemimpinannya.


Setiap orang hendaknya mengamalkan ajaran kitab suci ke dalam dirinya sendiri dan untuk bekal mengabdi pada orang lain. Yang tertinggi ajaran kitab suci itu untuk dijadikan pegangan berbakti kepada Tuhan. Apalagi bagi seorang yang berkedudukan sebagai raja. Sebelum bertugas mengendalikan pemerintahannya seorang raja harus berusaha siang malam mengendalikan indrianya agar patuh pada arahan pikiran dan kesadaran budhinya.

Indria yang berada di bawah kendali pikiran dan kesadaran budhi itu akan dapat mengimplementasikan kesucian Atman dalam setiap perilakunya. Apalagi sebagai seorang raja memiliki kewajiban berat untuk mengupayakan rasa aman (Raksanam) dan kehidupan yang sejahtera (Danam) bagi rakyatnya. Seorang raja membutuhkan stabilitas fisik dan mental yang kuat serta moral yang luhur. Karena itu, ia harus secara khusus menyediakan waktu untuk penguatan diri secara utuh.

Demikianlah Pura Penegil Dharma yang berdiri di pantai utara Kabupaten Buleleng sebagai pura untuk tempat bermeditasinya raja dengan pembantu-pembantunya. Selanjutnya setelah sang raja berstatus sebagai Dewa Pitara di Sunia Loka distanakan di pura ini.

Pura Penegil Dharma dengan Pura Prasanaknya ini terletak di Desa Kubutambahan dan Desa Bulian, Buleleng Utara. Pura Penegil Dharma ini pada mulanya bernama Pura Penyusuhan yang bentuknya hanya sebongkah batu hitam yang sangat kuno namun ada sesuatu yang magis religius di balik bentuk sederhana itu.

Sekitar tahun 1994 rombongan dosen Fakultas Teknik atas undangan umat berkunjung ke kaki Gunung Raung di Banyuwangi dan juga ke sebuah Petilasan di Alas Purwo untuk sembahyang. Persembahyangan itu sangatlah khusyuk. Dalam persembahyangan yang sangat hening itu ada salah seorang dosen mendapatkan bisikan spiritual. Isi petunjuk spiritual itu agar umat Hindu segera melestarikan tempat-tempat pemujaan atau pura yang ada di Gigir Manuk. Umat telah lama lupa pada tempat pemujaan Ida Batara di Pura Penegil Dharma.

Petunjuk spiritual itu diyakini kebenarannya oleh para dosen yang ikut sembahyang saat itu. Para dosen pun siap memberi bantuan teknik kalau ada pemugaran pura yang dimaksud. Setelah itu Pura Penegil Dharma itu pun dicari. Ternyata yang dimaksud Pura Penegil Dharma itu adalah Pura Penyusuhan yang ada di Desa Kubu Tambahan. Kata ”susuh” itu adalah bahasa Jawa yang artinya ”tegil” ayam dalam bahasa Balinya. Sejak itulah Pura Penyusuhan mendapat nama Pura Penegil Dharma. Nama inilah yang sekarang lebih dikenal luas oleh umat Hindu di Bali.

Setelah melalui berbagai pembahasan yang mendalam maka terbentuklah Panitia Pemugaran Pura Penegil Dharma dan Prasanaknya. Panitia pemugaran itu diketuai oleh Drs. Putu Armaya. Sebelumnya Dekan Fakultas Teknik membentuk juga panitia bantuan di bidang teknik yang diketuai oleh Ir. I Gusti Lanang Utawa pada Mei 1995.

Pura Penegil Dharma termasuk pura pesanakannya berjumlah sembilan pura. Enam pura di Desa Kubu Tambahan dan tiga pura di Desa Bulian. Di timur laut Desa Kubu Tambahan terdapat enam buah pura yaitu Pura Penyusuhan (Pura Penegil Dharma), Pura Pande, Pura Kerta Negara Gambur Anglayang, Pura Dalem Puri, Pura Patih dan Pura Madue Karang. Tiga buah pura di Desa Bulian yaitu Pura Candri Manik, Pura Sang Cempaka (Mahisa Cempaka) dan Pura Gede.

Di Pura Kerta Negara Gambur Anglayang di sebelah barat laut Pura Penegil Dharma. Pura ini tergolong Pura Prasanak dari Pura Penegil Dharma. Di Pura Kerta Negara Gambur Anglayang ini di samping ada Padmasana terdapat pelinggih-pelinggih untuk memuja Ida Ratu Pasundan, Ida Ratu Pamelayu, Ida Ratu Agung Dalem Mekah, Ida Ratu Manik Subandar dan Ida Batari Sri (Medang Kamulan).

Di pura ini nampaknya dipuja roh suci dari berbagai tokoh yang memiliki keyakinan yang berbeda-beda namun tetap rukun dan damai dalam membina kehidupannya. Hakikat Tuhan itu adalah Mahaesa. Tuhan Yang Mahaesa itu dipuja oleh setiap umat dengan cara yang berbeda-beda sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Setiap sistem keyakinan menyebut Tuhan Yang Mahaesa dengan sebutan yang berbeda-beda. Sangatlah tidak pantas sebutan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Mahaesa itu dipertentangkan. Hal itu akan membuang-buang energi saja.

Pelinggih utama di Pura Penegil Dharma adalah Pelinggih Gedong yang disangga Badawang Nala. Menurut Ida Pandita Sri Bhagawan Wira Panji Yoginanda, pada awalnya Pura Penegil Dharma ini ditemukan bongkahan batu yang cukup unik dan ada vibrasi spiritual yang sangat luar biasa di balik bentuk sederhana itu. Di tempat itulah didirikan Gedong dengan alas Badawang Nala. Pura Penegil Dharma ini menurut diktat sejarah Pura Penegil Dharma dan Prasanaknya didirikan pada awalnya oleh dinasti Raja Warmadesa dalam wujud yang sangat sederhana.

Keberadaan Pura Penegil Dharma seperti sekarang ini berkat kerja keras Panitya Pemugaran Pura Penegil Dharma dan Prasanaknya yang diketuai oleh Drs. Putu Armaya di Pura Penegil Dharma ini beliau dipuja dengan gelar ”Batara Prameswara Sri Hyang Ning Hyang Adi Dewa Lencana”.

* Ketut Gobyah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *