Jejak Pura Puseh Penegil Dharma, Pusat Pengembangan Agama dan Pemerintahan
Pura Penegil Dharma (PPD), nama dari sembilan pura yang terdapat di Desa Kubutambahan dan Desa Bulian, Kabupaten Buleleng. Pusat dari pusat pura itu adalah Pura Puseh Penegil Dharma atau dikenal dengan nama Pura Penyusuhan. Pura ini tidak pernah diketemukan tertulis pada prasasti-prasasti yang ada. Pura itu baru dikenal awal 1995, pada saat rombongan dosen Teknik Unud mengunjungi sebuah desa di kaki Gunung Raung, Banyuwangi. Di sebuah petilasan yang ada di sekitar Desa Alas Purwo itu, nama Pura Penegil Dharma yang terdapat di Gigir Manuk muncul sebagai sebuah pura yang harus dilestarikan. Apa dan bagaimana keistimewaan Pura Penegil Dharma itu, sehingga orang-orang spiritual banyak berkunjung ke sana? Apa filosofi pura dalam konteks kekinian? Bukti-bukti sejarah apa yang mendukung keberadaan pura tersebut?
Menurut Klian Ulu Krama Pengemong Pura Penegil Dharma Prof. Drs. Putu Armaya, apabila diperhatikan secara seksama, bentuk Pulau menyerupai bentuk seekor itik dengan posisi kepala menghadap ke Barat. Punggungnya menghadap ke utara, ekornya menghadap ke Timur. Perut bagian bawah serta dada menghadap Samudera Hindia di selatan.
Dari gambaran itu, di mana punggung menghadap ke utara, besar kemungkinan bahwa terjalin hubungan Pulau Bali dengan pusat-pusat budaya, baik yang bersifat lokal di nusantara, maupun yang hubungan internasional. Dicontohkan, hubungan dengan pusat budaya Cina, India, Mesir, Babilonia, Atena dan lain-lainnya dimulai dari Bali Utara.
Dikatakan, jika meneropongnya dari sisi spiritual, pada punggung (gigir manuk), ada satu jalur penghubung sepanjang sumsum tulang belakang yang dikenal dengan istilah kundalini. Penjelasan secara spiritual itu lebih meyakinkan lagi bahwa Bali bagian Utara yang menggambarkan gigir manuk terdapat tempat-tempat suci yang punya nilai magis yang sangat tinggi.
Di samping penjelasan itu, di Bali Utara juga dikenal dengan konsep Nyegara Gunung dengan ditemukan Pura Mutering Jagat di sepanjang pesisir utara Pulau Bali. Bila ditelusuri dari segi geografis, di daerah punggung yang menghadap ke utara Pulau Bali atau dikenal dengan istilah gigir manuk atau tulang geger yang nampak paling menonjol. Hal itu, tak ubahnya sebuah daerah yang menonjol ke laut yang merupakan Tanjung Utara Pulau Bali.
Di daerah yang menonjol ini dulunya diduga terdapat sebuah laguna. Lokasi laguna diperkirakan kurang lebih 400 meter dari batas daratan yang ada sekarang. Dapat dibuktikan dengan keberadaan Barier yang ada serta perbedaan jenis tanah yang ada di sebelah utara jalan raya dengan jenis tanah di sebelah selatan jalan raya. Jenis tanah di sebelah utara jalan raya merupakan tanah endapan lumpur atau sedimentasi. Sedangkan jenis tanah di sebelah selatan jalan raya merupakan jenis tanah batuan.
Uraian tentang jenis tanah membuktikan bahwa memang daerah tersebut merupakan danau yang sangat luas yang bermuara ke laut, sehingga disebut laguna. Tempat pertemuan laut dan danau itu sekarang merupakan Pura Negara Gambur Angelayang. Di tempat itu dulu merupakan pelabuhan dagang yang bernama Kuta Baning yang berarti Benteng Perang.
Lebih lanjut dikatakan, Kuta Baning mempunyai arti sebagai berikut. Di atas merupakan sebuah tempat yang dikelilingi dengan benteng berfungsi sebagai pengamanan karena daerah tersebut merupakan pelabuhan dagang dan sebagai pusat perdagangan. Tempat ini sekarang sebagai salah satu pura pesanakan Padma Bhuana Kahyangan dengan nama Pura Negara Gambur Angelayang. Pura ini merupakan lambang di mana agama merupakan satu tujuan.
Dikatakannya, di Kawista inilah — bila diruntut sejarah — dibangun istana, pusat pemerintahan dan pusat agama yang didirikan oleh Sri Ugra Sena Warmadewa yang juga bergelar Sri Kesari Warmadewa (secara etimologi kata ”Ugra” sama dengan kata ”Kesari” artinya sama-sama Singa). Istana tersebut sekarang ini dikenal dengan nama Pura Puseh Penegil Dharma.
Sri Ugra Sena Warmadewa dikenal sebagai Sri Kesari Warmadewa saat beliau memimpin penyerangan daerah Suwal, Gerung atau Gurun yang dikenal sekarang dengan Sumbawa dan Lombok. Setelah membangun Kauripan bersama Mpu Sendok, Tabanendra Warmadewa membantu Ugrasena Warmadewa membangun Kawista. Istana beliau di tepi selatan Kawista, yang keberadaannya sekarang merupakan Pura Bukit Sinunggal. Tabanendra Warmadewa bertugas mengembangkan wilayah Tajun ke arah selatan sebagai sentra pertanian. Nama Tabanan diambil dari nama Tabanendra Warmadewa.
Lebih lanjut dikatakan, pasca-Sri Kesari Warmadewa, daerah Kawista juga sempat dijadikan kembali sebagai istana. Di sana dipakai sebagai pusat pemerintahan dan pengembangan agama. Selain bernama Kawista, pusat pemerintahan tersebut juga dikenal dengan nama Banyu Buah dan Puseh Penegil Dharma, sebagi pusat dari Padma Bhuana Kahyangan.
Nama Banyu Buah mempunyai arti ”berbuah di air”. Buah yang dimaksud adalah padi. Pada zaman pemerintahan Nara Singa Murti, sudah ada sistem subak untuk mengairi tanah pertanian (sawah). Subak yang pertama adalah Subak Tukad Dalem (tukad yang dibangun oleh Raja atau Dalem-red) yang masih bisa dilihat peninggalannya di sekitar Pura Penegil Dharma sekarang.
Kembali ke kata Kawista. Menurut Armaya, kata Kawista mempunyai arti ”tanah yang suci”. Tanah sebelum campur tangan manusia memang sudah dititahkan oleh Tuhan, Sang Pencipta sebagai tempat yang suci. Di tempat tersebut akan dibangun tempat suci, sebagai perlambang bangkitnya jalan-jalan sinar yang menganugerahkan hari wisuda dari sebuah jiwa setelah melewati lahir kembali yang siklusnya berulang-ulang.
Armaya mengatakan, di tempat suci merupakan pertanda dari kembalinya putra-putri sang Sinar yang berbaur dengan kita dalam wujud manusia yang terlahir lewat sang Illahi. Di pura tersebut akan dibuka segel buku sang Sinar yang lembaran-lembarannya direkatkan oleh tiap kepercayaan sebagai bahasa cinta kasih universal. Pusat Kawista yang menjadi Istana, pusat pemerintahan dan pusat agama, keberadaannya sekarang dikenal dengan nama Pura Puseh Penegil Dharma, berlokasi di Banyu Buah, Desa Kubutambahan.
* sut