Pura Penegil Dharma, Dalam Konteks Spiritual Modern
Dalam konteks kekinian, Pura Puseh Penegil Dharma (PPPD) banyak menyedot perhatian banyak pihak. Mulai dari kalangan spiritual, sejarawan, arkeolog dan lain-lain. Salah seorang arkeolog itu adalah berkebangsaan Swis yakni Mr. Bruno Riek. Ia pernah mengunjungi Pura Puseh Penyusuhan Dharma dalam upaya mencari sebuah gugusan bintang. Tujuannya, membuktikan sebuah teori tentang makrokosmos dan mikrokosmos.
Gugusan bintang yang dimaksud adalah gugusan bintang utara. Teori itu menyebutkan, tempat di mana gugusan bintang utara dapat dilihat dengan jelas, tempat di mana makrokosmos dan mikrokosmos benar-benar menyatu di daerah tersebut. Pendapat tersebut dikuatkan tokoh spiritual dari Benua Amerika, Elan dan Carrol. Kedua orang ini merasakan getaran-getaran energi illahi di lintas batas Pura Penegil Dharma tersebut.
Elan dari Kanada beserta Carrol dari Amerika dalam bahasa spiritual mengandaikan, bahwa sebelum semua berawal, dan sesudah segalanya berakhir, tempat ini sudah terpilih sebagai temple. Pulau Bali menggambarkan inti dari cincin api dan temple ini sebagai titik tengah tempat di mana semua kepercayaan yang berbeda akan menyatu dan disucikan menuju suatu titik — unsur Tuhan yang suci dan unsur murni dari yang satu yang membara dalam hati.
Pandangan Elan dan Carrel mengingatkan pada nama Kawista yang mempunyai arti tanah yang suci. Temuan lain tentang Pura Puseh Penegil Dharma, dapat ditemukan pada World Matrix With Energy Centres. Dalam World Matrix With Energy Centres disebutkan, ”Tempat ini (di Pura Puseh Penegil Dharma-red) merupakan titik atau poin timur dari bola dunia. Titik barat ada pada Danau Titicaka di Puncak Gunung Titicaka di Peru”. Sebenarnya titik-titik tersebut, sesuai dengan isi bait-bait wargasari yang menyebutkan …Betel Kangin, Betel Kauh. Maksudnya bahwa Bali merupakan Betel Kangin dan Danau Titicaka di Pucak Gunung Titicaka merupakan Betel Kauh.
Seperti disebutkan pada peta itu, tempat ini merupakan titik timur dari bola dunia. Di mana titik barat berada di sebuah Danau Titicaka di Puncak Gunung Titicaka di Peru. Jika sekarang masih tersisa mata air yang ada di Permandian Air Sanih dan mata air yang berada di dalam Pura Penyusuhan, memang tempat ini dahulu kala merupakan danau atau laguna yang membentang dari Pura Dalem Puri Desa Kubutambahan sampai Permandian Air Sanih.
Keberadaan laguna atau Danau itu memang disebutkan dalam beberapa prasasti dengan nama Er Madatu, Banyu Plasa atau Er Angga. Er Angga berasal dari Er Rangga. Rangga sama dengan pohon tenggulun. Tenggulun berasal dari kata ”tanggu ulu” yang berarti tanduk menjangan. Jika dilihat saat ini, memang di sekitar Pura Puseh Penegil Dharma banyak ditemukan pohon tenggulun yang dimaksud. Dahannya menyerupai tanduk menjangan.
Titik barat di mana danau tersebut berada di pucak Gunung Titicaka, maka titik timur berada di gunung keempat yang dimaksudkan adalah Pucaking Giri (Puncak Gunung). Sekarang merupakan nama salah satu pura yang berada di Pusat Pura Penyusuhan Penegil Dharma.
Pendapat lain yang memperkuat arti spiritual Pura Puseh Penegil Dharma diungkapkan Mr. Jhon Barry, seorang koreografer dari Colorado. Mr. Jhon Barry. Setelah melakukan perjalanan ke negara Mesir (negeri Egip) untuk meneliti keberadaan piramida yang sangat termasyur, ia melanjutkan perjalanannya ke Bali untuk mencari Puncak Piramida yang diperkirakan berada di Pulau Bali.
Dalam sebuah perayaan Natal 24 Desember 1998 lalu yang dilaksanakan oleh kelompok warga negara Italia yang ada di Pulau Bali, Jhon Barry mengikuti rombongan ikut merayakan Natal di Pura Puseh Penegil Dharma. Tanpa disadari, pura itulah yang dicari sebagai pucak piramida. Tempat itu dianggap sebagai pucak dari sebuah piramida. Menurut pandangan beberapa kelompok yang mendalami spiritual, tempat itu merupakan tempat yang universal.
Dikunjungi Orang Spritual
Tak heran, sejak awal 1996, Pura Puseh Penegil Dharma banyak dikunjungi oleh orang-orang yang senang melakukan perjalanan spiritual. Tak pelak lagi Presiden Megawati Soekarnoputri juga sempat ke sana. Jumlah pejabat di Bali juga banyak yang bermeditasi di pura itu. Para pendalam spiritual itu berasal dari Bali luar Bali, bahkan mancanegara. Banyak dari mereka yang memberikan pandangan pribadi mereka tentang keberadaan pura tersebut.
Pandangan dan bahasa spiritual Elan O’Brien Carrol dari Kanada tentang keberadaan Pura Puseh Penegil Dharma seperti ini: ”Sebelum semuanya ada, dan setelah semuanya tiada, pura ini telah ditentukan sejak dahulu kala. Di saat kita semua berada dalam haribaan Yang Esa. Awalnya kita satu, kita adalah cinta kasih, kita adalah Tuhan itu sendiri”.
Kita adalah bagian dari sang Roh Pencipta yang bersemayam di dalam diri kita semua. Kita sepakat untuk memainkan beragam peran. Kita sepakat melupakan intisari Tuhan yang bersemayam di dalam diri kita. Maksudnya, semua agar dapat berpencaran dan mewujudkan bentuk yang lebih agung dari intisari Tuhan yang bersemayam dalam segala yang ada.
Pura ini mengisyaratkan kesiapan kita mengingat atau bersujud pada pura baik yang ada di Bhuana Alit maupun di Bhuana Agung. Semua orang telah ambil bagian dalam membuka pintu perwujudan penciptaan yang lebih agung. Semua kepercayaan dan perwujudannya adalah bagian dari kunci universal ini. Kunci ini adalah cinta kasih. Bila semua agama dan umat manusia bersatu dalam satu titik fokus guna menyalakan ungkapan mereka yang unik lewat Mudra dan Suara, daya mahkota dari Yang Esa akan bangkit.
Merpati (cinta kasih) yang bersemayam di dalam diri kita semua akan mulai berkelana dari bintang di dalam inti bumi. Melewati jalanan sang Naga dan bumi ini akan mencuat menjadi sebuah bintang yang menyatukan sorga-sorga dan bertahta sebagai Kerajaan Tuhan.
Oleh sebab itu, semua orang akan mendapat kesempatan. Mereka yang datang hanya perlu mengenali Tuhan yang bersemayam di dalam dirinya. Memilih untuk melangkah ke depan dan mengingat masa lalunya sebagai bagian dari intisari Tuhan sebagai pencipta yang Esa. Tiap orang akan memegang kode-kode istimewa yang diwujudkan dalam kepercayaan-kepercayaan mereka yang unik sebagai bagian dari rencana Sang Pencipta.
Ini menjadi lambang dari lengkungan pelangi yang menyatu di atas mau pun di bawah berlandaskan pemersatuan dua kutub yang berlawanan. Pura ini diciptakan untuk menjadi pintu masuk ke dalam mahkota yang hanya bisa dicapai dengan meniadakan waktu, ruang dan tidak mendua serta hati yang saling bertautan.
* Ngurah Paramartha
Sumber: Bali Post