Sugihan Jawa dan Sugihan Bali

Makna Penting Dari Sugihan Jawa dan Sugihan Bali

Dalam menyambut Hari Raya Galungan dan Kuningan dalam Agama Hindu khususnya di Bali, biasanya terdapat rententetan upacara. Dimulai dengan hari Tumpek Wariga dan selanjutnya menjelang seminggu sebelum Galungan, dikenal dengan sugihan.

Mengenai Sugihan masih terdapat hal yang rancu dalam masyarakat, tidak sedikit yang berpendapat jika merayakan hari raya sugihan jawa artinya merupakan keturunan dari Majapahit (Jawa) dan Sugihan Bali artinya keturunan bali asli.
Jika dicoba menelisik pada sebuah lontar yaitu Lontar Sundarigama. Dalam Lontar Sundarigama dijelaskan bahwa filosofi dari sugihan erat kaitannya dengan Pembersihan.

sugihan

 

Yang mana dapat jelaskan makna dari Sugihan Jawa adalah penyucian makrokosmos atau buana agung atau alam semesta sebagai tempat kehidupan. Pembersihan ini secara sekala dilakukan dengan membersihkan pelinggih atau tempat-tempat suci yang digunakan sebagai tempat pemujaan. Pembersihan bisa dilakukan dengan melakukan pecaruan ekasata di rumah masing-masing. Bila kita tidak sempet melakukan pecaruan, maka cukup dengan bungkak nyuh gading yang dipercikkan ke semua penjuru rumah/pekarangan kita yang sebelumnya sudah didoakan akan bisa menjadikan rumah/lingkungan kita menjadi bersih. Sudah tentu perlu juga dilengkapi canang sari dihaturkan ke hadapan pelinggih yang ada di lingkungan kita. Diyakini pada saat Sugihan Jawa ini, para dewa akan turun diiringi dengan para luluhur untuk menerima persembahan.

Sedangkan Sugihan Bali adalah penyucian buana alit atau diri sendiri (mikrokosmos) sehingga bersih dari perbuatan-perbuatan yang ternoda atau pembersihan lahir dan batin. Pembersihan dapat dilakukan dengan penglukatan, sarananya dapat menggunakan bungkak nyuh gading. Dengan adanya kesucian lahir dan batin itu, umat lebih bisa memaknai Hari Suci Galungan, sebagai kemenangan dharma.

Sebenarnya ada satu lagi hari sugihan sebelum datangnya Sugihan Jawa dan Sugihan Bali, yaitu Sugihan Tenten. Jika Sugihan Jawa jatuh pada Wrhaspati / Kamis Wage Wuku Sungsang dan Sugihan Bali pada Jumat Kliwon Wuku Sungsang maka Sugihan Tenten jatuh pada Buda Pon Wuku Sungsang atau tujuh hari sebelum Hari Raya Galungan. Sugihan ini disebut Sugihan Tenten karena merupakan hari ngentenin atau memperingatankan, mengingatkan umat manusia bahwa sebelum Kemenangan Dharma tiba Bhuta Tiga akan hadir untuk menggoda umat manusia.

Jadi dapat disimpulkan mengenai Sugihan Jawa dan Sugihan Bali hendaknya tidak ada yang melaksanakan hanya salah satunya saja. Karena sudah dijelaskan diatas akan makna penting dari sugihan sugihan tersebut. Jadi alangkah baiknya untuk melaksanakan kedua sugihan tersebut. Seperti yang diceritakan pada Mitologi Bhuta Kala bahwa dalam menyambut hari Raya Galungan, Dewa Siwa menugaskan para Bhuta untuk menggoda para manusia. Sehingga dengan melakukan pembersihan Bhuana Agung pada Sugihan Jawa dan pembersihan Bhuana Alit pada Sugihan Bali akan mampu lebih menjauhkan kita dari godaan para Bhuta yang akan dapat merugikan diri kita. Sehingga pada Hari Galungan nanti kita akan lebih mampu memahami akan arti kemenangan dharma melawan adharma.

(sumber: inputbali,com)

 

(dikutip dari balipost.com)

Sugihan Jawa dan Sugihan Bali

Menjelang hari raya Galungan dan Kuningan, umat hindu di Bali melaksanakan upacara atau ritual yang disebut upacara sugihan. Sugihan itu sendiri dirayakan dengan 2 hari yang berbeda. Hari yang pertama diebut sebagai sugihan Jawa. dan Hari yang ke dua disebut sugihan Bali. Apa sebenarnya makna upacara sugihan sugihan itu? apa makna yang terkandung dibalik sugihan bali dan sugihan jawa? mari kita coba bahas.

Menurut Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Bali I Gusti Made Ngurah, makna dan filosofi kedua sugihan adalah sebagai sarana pembersihan makrokosmos (alam semesta) dan

mikrokosmos (manusia) secara sekala dan niskala. ”Sugihan Jawa merupakan pembersihan secara sekala, sementara Sugihan Bali merupakan pembersihan secara niskala,” kata Ngurah.

prayascita

 

Menurut Drs. I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si., Wakil Ketua I Parisada Bali, makna filosofis hari sugihan tidak bisa dipisahkan dengan hari lainnya yang masih merupakan rangkaian hari raya Galungan dan Kuningan. Rangkaian perayaan yang sudah dimulai sejak 25 hari sebelum Galungan tepatnya pada Saniscara Kliwon wuku Wariga atau yang lebih dikenal dengan Tumpek Wariga. Pada saat ini umat mengaturkan persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Sangkara. Dalam pengider bhuwana letaknya di Pucak Mangu. Umat pada Tumpek Wariga (Tumpek Pengatag) ini melakukan komunikasi dengan penguasa tumbuh-tumbuhan. Adapun tumbuh-tumbuhan yang diutamakan adalah yang menghasilkan bahan-bahan yang bisa digunakan sebagai sesaji persembahan untuk hari raya Galungan dan Kuningan. Dalam peng-aci-aci-nya, umat memohon dengan jelas kepada penguasa tumbuh-tumbuhan untuk melimpahkan buah-buahan yang akan digunakan pada saat Galungan.

Secara filosofi, kata Sudiana yang juga dosen STAHN Denpasar ini, dari perayaan Tumpek Wariga sesungguhnya umat Hindu diharapkan untuk mempersiapkan pelaksanaan hari raya Galungan dan Kuningan dengan niat dan pikiran yang suci. ”Mulai Tumpek Wariga ini umat Hindu menjalani pendakian spiritualnya untuk menyambut perayaan Galungan dan Kuningan,” kata Sudiana.

Pendakian spiritual umat Hindu tersebut makin menjalani tahap yang lebih tinggi saat mendekati hari raya Galungan. Karena itu, pada Wraspati Wage dan Sukra Kliwon wuku Sungsang yang lebih dikenal dengan Sugihan Jawa dan Sugihan Bali, umat Hindu mulai melakukan pembersihan-pembersihan di sejumlah tempat suci.

Sudiana lebih melihat perbedaan Sugihan Jawa dan Sugihan Bali dari alam yang disucikan. Pada Sugihan Jawa, kata Sudiana, lebih menekankan pada pembersihan makrokosmos atau alam semesta. Pembersihan ini secara sekala dilakukan dengan membersihkan palinggih atau tempat-tempat suci yang digunakan sebagai tempat pemujaan. Ia mengatakan, dalam istilah Balinya sering disebut dengan ngererata atau mabulung yakni pekerjaan merabas atau mencabut rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar palinggih,” kata Sudiana.

Sementara secara niskala juga dilakukan pembersihan dengan jalan mengaturkan upacara banten pengerebuan dan prayasita sebagai lambang penyucian. Semua itu diaturkan kepada Ida Batara, para leluhur dan para dewa yang berstana di masing-masing palinggih atau pura. Diyakini pada saat Sugihan Jawa ini, para dewa akan turun diiringi dengan para luluhur untuk menerima persembahan.

Keesekokan harinya, tepatnya Sukra Kliwon wuku Sungsang atau sering disebut dengan Sugihan Bali, kata Sudiana, merupakan simbol dari pembersihan alam mikrokosmos. Pada saat ini umat melakukan tirta gocara atau tirta yatra yakni dengan pergi ke samudera — sumber mata air atau bisa di palinggih atau merajan yang ada di masing-masing rumah. Ia mengatakan, dalam praktik yoga umat Hindu pada hari ini melakukan yoga semadi yang ditujukan untuk mulat sarira. Menyambut hari raya Galungan, umat seharusnya memiliki kesucian batin dengan menahan diri dari segala macam godaan indria. Hal inilah yang menjadi penekanan dalam kaitannya pelaksanaan ritual Sugihan Bali.

Dikatakan, Sugihan Jawa dan Sugihan Bali jika dilihat dari konsepnya menyiapkan umat Hindu menghadapi berbagai gempuran dan godaan duniawai yang datang menjelang hari raya Galungan. ”Pada kedua sugihan ini, kekuatan rwa bhinneda diupayakan berada pada titik keseimbangan untuk menuju pada ketenangan dan kedamaian,” kata Sudiana.

Kembali pada persoalan sesaji yang biasanya diaturkan pada saat sugihan. Dalam praktik di beberapa tempat terutama di daerah Denpasar, banten pangerebuan ini biasanya disertai dengan persembahan ayam, bebek atau babi guling. Hal ini sebenarnya hanya merupakan bentuk dari tradisi. Apabila ditinjau dari segi sastra, hal itu tidaklah mutlak. ”Artinya, tradisi ini bisa diubah, kalau memang keyakinan untuk mengubahnya sudah cukup besar,” kata Ngurah seraya menambahkan, apabila umat tidak memiliki keyakinan untuk mengubahnya, hal tersebut akan tetap dijalankan.

Selain itu, umat Hindu yang merayakan Sugihan Bali berbeda dengan mereka yang melaksanakan Sugihan Jawa. Perbedaan ini, menurut Sudiana, semata-mata karena adanya tradisi yang sudah berlaku secara turun-temurun. Selain itu, juga disesuaikan dengan desa kala patra. ”Adanya perbedaan ini juga dikaitkan dengan kedatangan Dhanghyang Astapaka dan Dhanghyang Nirarta ke Bali,” kata Sudiana. Ia menambahkan, di sinilah sangat berperan metode untuk meyakinkan umat Hindu di Bali.

Di kalangan umat Hindu juga berkembang pemikiran, bahwa umat yang melaksanakan Sugihan Jawa adalah umat Hindu yang keturunan Majapahit. Sementara yang terkait dengan Sugihan Bali adalah mereka yang dari keturunan Bali asli. Kenyataan ini dibenarkan oleh Ngurah.

Ia mengatakan, adanya pembagian umat Hindu dalam melaksanakan Sugihan Jawa dan Sugihan Bali terkait dengan faktor historis. ”Mereka yang dari keturunan Majapahit melaksanakan Sugihan Jawa dan yang asli Bali melaksanakan Sugihan Bali,” kata Ngurah.

Namun, kalau dikembalikan kepada makna dan filosofi sugihan itu, kata Sudiana, hendaknya umat Hindu di Bali melaksanakan kedua sugihan tersebut. Hanya, perbedaan pada kesemarakkan pelaksanaan dari salah satu sugihan yang sudah dilakukan secara turun-temurun memang sangat sulit dihilangkan. Artinya, kebiasaan umat Hindu untuk melaksanakan Sugihan Jawa dengan mengaturkan upacara pengerebuan misalnya, tetap dijalankan sebagaimana mestinya.

Adanya perbedaan pelaksanaan masing-masing sugihan oleh dua kelompok berbeda, menurut Ngurah, adalah bentuk penghargaan terhadap perbedaan yang ada. Sementara Sudiana memandang hal ini sebagai bentuk betapa luwes dan fleksibelnya agama Hindu itu sendiri. Yang paling penting tentunya pemahaman yang mendasar di kalangan umat tentang makna sesungguhnya dari sugihan itu sendiri.

Demikianlah kutipan makna perayaan Sugihan Bali dan Sugihan Jawa menurut para tokoh Hindu yang pada intinya memiliki kesamaan pengertian. Semoga perbedaan Sugihan Jawa dan Sugihan Bali yang sering di salah artikan di masyarakat kini bisa lebih diartikan sebagai satu kesatuan yang memiliki tujuan yang sama mulianya yaitu ‘proses penyucian’.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *