Ada lima keyakinan yang disebut Panca Sradha yang mendasari segala aspek kehidupan bagi umat Hindu.
Brahman, keyakinan terhadap Tuhan.
Atman, keyakinan terhadap Atman (jiwa).
Karmapala, keyakinan terhadap hukum karma.
Punarbawa / Samsara, keyakinan terhadap penjelmaan kembali.
Moksa, keyakinan terhadap penyatuan Atman dengan Brahman.
Brahman
Keyakinan terhadap Tuhan
Agama Hindu mendidik umatnya untuk yakin akan adanya kemahaagungan Sang Hyang Widhi Wasa. Tuhan merupakan sumber segala yang ada di alam ini baik yang tampak nyata maupun yang abstrak (sekala – niskala).
Tuhan menurut Hindu:
Tuhan berada di mana- mana dan mengatasi segala keadaan, ada tanpa diadakan atau ada karena mengadakan dirinya sendiri, Wibhu Sakti.
Maha Pencipta, Krya Sakti.
Maha mengetahui, Jnana Sakti.
Maha Esa, karena itu agama Hindu adalah Monotheisme.
Dalam menguasai alam semesta Tuhan Yang Maha Esa dikenal dalam berbagai manifestasi sesuai fungsi dan kemahakuasaan-Nya dalam nama “Dewa”.
Dewa berasal dari kata Sanskerta Div, yang berarti Sinar).
Reg Weda Mandala I Sukta 164, mantra 46:
Ekam sat wipra bahuda wadanti, agnim yamam matariswanam.
Artinya:
Tuhan itu hanya satu adanya, oleh para Resi disebutkan dengan berbagai nama seperti: Agni, Yama, Matariswan.
Upanishad IV.2.1.:
Ekam ewa adwityam brahman.
Artinya:
Tuhan itu hanya satu tidak ada duanya.
Narayana Upanishad:
Narayanad na dwityo ‘asti kascit.
Artinya:
Narayana tidak ada dua-Nya yang hamba hormati.
Selain itu banyak gelar lagi yang dipersembahkan oleh umat Hindu kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai:
Sang Hyang Parameswara (Raja Termulia),
Parama Wisesa (Maha Kuasa),
Jagad Karana (Pencipta Alam) dan lain- lainnya.
Dan perwujudan sebagai Tri Murti, yaitu:
Sebagai Pencipta Ia bergelar Brahma (Utpati),
sebagai Pemelihara dan Pelindung (Sthiti) Ia disebut Wisnu, dan
dalam fungsi atau kekuasaan-Nya mengembalikan segala isi alam ini kepada sumber asalnya (pralina) Ia bergelar Siwa.
Di dalam kitab Wrhaspatitattwa terdapat keterangan tentang sifat-sifat Tuhan yang disebut Asta Sakti atau Astaiswarya yang artinya delapan sifat Kemahakuasaan Tuhan.
Hana Anima ngaranya, kesaktian Tuhan yang disebut Anima.
Hana Laghima ngaranya, kesaktian Tuhan yang disebut Laghima.
Hana Mahima ngaranya, kesaktian Tuhan yang disebut Mahima.
Hana Prapti ngaranya, kesaktian Tuhan yang disebut Prapti.
Hana Prakamya ngaranya, kesaktian Tuhan yang disebut Prakamya.
Hana Isitwa ngaranya, kesaktian Tuhan yang disebut Isitwa.
Hana Wasitwa ngaranya, kesaktian Tuhan yang disebut Wasitwa.
Hana Yatrakamawasayitwa ngaranya, kesaktian Tuhan yang disebut Yatrakamawasayitwa.
Kedelapan sifat keagungan Sang Hyang Widhi Wasa ini, disimbulkan dengan singgasana teratai (padmasana) yang berdaun bunga delapan helai (astadala). Singgasana teratai adalah lambang kemahakuasaan-Nya dan daun bunga teratai sejumlah delapan helai itu adalah lambang delapan sifat agung / kemahakuasaan (Astaiswarya) yang menguasai dan mengatur alam semesta dan makhluk semua.
Keyakinan terhadap percikan Tuhan dalam setiap makhluk hidup.
Atman atau atma adalah percikan-percikan kecil (halus) dari Brahman / Sang Hyang Widhi Wasa yang berada di dalam setiap makhluk hidup. Atman di dalam badan manusia disebut: Jiwatman yaitu yang menghidupkan manusia. Hubungan atman dengan badan ini ibarat bola lampu dengan listrik. Bola lampu tidak akan menyala tanpa listrik, demikian pula badan jasmani takkan hidup tanpa atman.
Atman menghidupkan sarwa prani (makhluk di alam semesta ini). Indria tak dapat bekerja bila tak ada atman. Misalnya telinga tak dapat mendengar bila tak ada atman, mata tak dapat melihat bila tak ada atman, kulit tak dapat merasakan bila tak ada atman. Atman itu berasal dari Sang Hyang Widhi Wasa, bagaikan matahari dengan sinarnya. Sang Hyang Widhi Wasa sebagai matahari dan atma-atma sebagai sinar-Nya yang terpencar memasuki dalam hidup semua makhluk.
Sifat-sifat Atman
Di dalam kitab Bhagavad-Gita terdapat penjelasan tentang sifat- sifat atman. Secara singkat sifat- sifat atman itu sebagai berikut:
Achedya, tak terlukai oleh senjata
Adahya, tak terbakar oleh api
Akledya tak terkeringkan oleh angin
Acesyah tak terbasahkan oleh air
Nitya, abadi
Sarwagatah, di mana-mana ada
Sthanu, tak berpindah-pindah
Acala, tak bergerak
Sanatana, selalu sama
Awyakta, tak dilahirkan
Acintya, tak terpikirkan
Awikara, tak berubah dan sempurna tidak laki-laki ataupun perempuan.
Bhagavad-GitaII, sloka 23, 24, dan 25:
nai’nam chhindanti sastrani na chai’nam kledayanty apo na soshayati marutah
Artinya:
Senjata tidak dapat melukai Dia
dan api tidak bisa membakar-Nya
angin tidak dapat mengeringkan Dia
dan air tidak bisa membasahi-Nya
Achedyo ‘yam adahyo ‘yam akledya ‘soshya eva cha nityah sarwagatah sthanur achalo ‘yam sanatanah
Artinya:
Dia tidak dapat dilukai, dibakar
juga tidak dikeringkan dan dibasahi
Dia adalah abadi, tiada berubah
tiada bergerak, tetap selama- lamanya.
Artinya:
Dia dikatakan tidak termanifestasikan
tidak dapat dipikirkan, tidak berubah- ubah
dan mengetahui halnya demikian
engkau hendaknya jangan berduka.
Dia dan Nya dalam sloka ini adalah atma. Jadi atma itu dikatakan mengatasi segala elemen materi, kekal abadi, dan tidak terpikirkan. Oleh karenanya atma itu tidak dapat menjadi subyek maupun obyek dari tindakan atau pekerjaan. Dengan perkataan lain atma itu tidak terkena oleh akibat perubahan-perubahan yang dialami pikiran, hidup, dan badan jasmani. Semua bentuk ini bisa berubah, datang, dan pergi, tetapi atma itu tetap langgeng untuk selamanya.
Karmaphala terdiri dari dua kata yaitu karma dan phala, berasal dari bahasa Sanskerta. Karma artinya perbuatan dan Phala artinya buah, hasil, atau pahala. Jadi Karmaphala artinya hasil dari perbuatan seseorang.
Kita percaya bahwa perbuatan yang baik (subha karma) membawa hasil yang baik dan perbuatan yang buruk (asubha karma) membawa hasil yang buruk. Jadi seseorang yang berbuat baik pasti baik pula yang akan diterimanya, demikian pula sebaliknya yang berbuat buruk, buruk pula yang akan diterimanya. Karmaphala memberi keyakinan kepada kita untuk mengarahkan segala tingkah laku kita agar selalu berdasarkan etika dan cara yang baik guna mencapai cita-cita yang luhur dan selalu menghindari jalan dan tujuan yang buruk.
Phala dari karma itu ada tiga macam yaitu:
Sancita Karmaphala:
Phala dari perbuatan dalam kehidupan terdahulu yang belum habis dinikmati dan masih merupakan benih yang menentukan kehidupan kita sekarang.
Prarabda Karmaphala:
Phala dari perbuatan kita pada kehidupan ini tanpa ada sisanya lagi.
Kriyamana Karmaphala:
Phala perbuatan yang tidak dapat dinikmati pada saat berbuat sehingga harus diterima pada kehidupan yang akan datang.
Dengan pengertian tiga macam Karmaphala itu maka jelaslah, cepat atau lambat, dalam kehidupan sekarang atau nanti, segala pahala dari perbuatan itu pasti diterima karena sudah merupakan hukum. Karmaphala mengantarkan atma masuk surga atau masuk neraka. Bila dalam hidupnya selalu berkarma baik maka pahala yang didapat adalah surga, sebaliknya bila hidupnya itu selalu berkarma buruk maka hukuman nerakalah yang diterimanya. Dalam pustaka-pustaka dan cerita-cerita keagamaan dijelaskan bahwa surga artinya alam atas, alam suksma, alam kebahagiaan, alam yang serba indah dan serba mengenakkan. Neraka adalah alam hukuman, tempat roh atau atma mendapat siksaan sebagai hasil dan perbuatan buruk selama masa hidupnya. Selesai menikmati surga atau neraka, roh atau atma akan mendapatkan kesempatan mengalami penjelmaan kembali sebagai karya penebusan dalam usaha menuju Moksa.
Surga dan Neraka
Menurut ajaran agama (dharma) yang diwahyukan ke dunia dengan perantaraan para Maha Rsi, maka segala baik buruk kegiatan (subha karma atau asubha karma) akan membawa akibat tidak saja di dalam hidup sekarang ini tetapi juga di akhirat (surga dan neraka). Setelah atma dengan suksma sarira (badan astral) terpisah dari stula sarira (badan wadah) dan membawa akibat pula dalam penjelmaan yang akan datang (Punarbhawa), maka atma bersama dengan suksma sariranya bersenyawa lagi dengan stula sarira. Sang Hyang Widhi Wasa menghukumnya dengan hukum yang bersendikan dharma. Dan Dia akan merahmati atma seseorang yang berjasa dan yang melakukan amal kebajikan yang suci (subha karma) dan Dia pun akan mengampuni atma seseorang yang pernah berbuat dosa, bila ia tobat dan tawakal serta tidak akan melakukan dosa lagi.
Tuhan Yang Maha Tahu bergelar Yamadipati (pelindung Agung Hukum Keadilan) yang selalu menjatuhi hukuman kepada atma yang tiada henti-hentinya melakukan kejahatan atau dosa dan memasukkannya ke dalam neraka.
Di sini atma itu menerima hasil perbuatannya berupa neraka. Adapun penjelmaan atma semacam ini adalah sangat nista dan derajatnya pun semakin merosot, jika ia selalu berbuat jahat.
Kata punarbhawa terdiri dari dua kata Sanskerta yaitu punar (lagi) dan bhawa (menjelma). Jadi punarbhawa ialah keyakinan terhadap kelahiran berulang yang disebut juga penitisan atau samsara. Dalam pustaka suci Weda tersebut dinyatakan bahwa penjelmaan jiwatman berulang-ulang di dunia ini atau di dunia yang lebih tinggi disebut samsara. Kelahiran yang berulang ini membawa akibat suka dan duka.
Punarbhawa atau samsara terjadi oleh karena jiwatman masih dipengaruhi oleh Wisaya dan Awidya sehingga kematiannya akan diikuti oleh kelahiran kembali.
Dalam Bhagavad-Gita Sang Krisna berkata:
Wahai Arjuna, kamu dan Aku telah lahir berulang- ulang sebelum ini, hanya Aku yang tahu sedangkan kamu tidak, kelahiran sudah tentu akan diikuti oleh kematian dan kematian akan diikuti oleh kelahiran.
Segala perbuatan ini menyebabkan adanya bekas (wasana) pada jiwatma. Bekas-bekas perbuatan (karma wasana) itu ada bermacam-macam, jika yang melekat bekas-bekas keduniawian maka jiwatman akan lebih cenderung dan gampang ditarik oleh hal-hal keduniawian sehingga jiwatman itu lahir kembali.
Keyakinan terhadap bersatunya Atman kepada Brahman
Tujuan hidup umat Hindu ialah mendapatkan kebahagiaan lahir dan batin (moksartham jagadhita). Kebahagiaan batin yang tertinggi ialah bersatunya Atman dengan Brahman yang disebut Moksa.
Moksa atau mukti atau nirwana berarti kebebasan, kemerdekaan atau terlepas dari ikatan karma, kelahiran, kematian, dan belenggu maya / penderitaan hidup keduniawian. Moksa adalah tujuan terakhir bagi umat Hindu. Dengan menghayati dan mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari secara baik dan benar, misalnya dengan menjalankan sembahyang batin dengan menetapkan cipta (Dharana), memusatkan cipta (Dhyana) dan mengheningkan cipta (Semadhi), manusia berangsur-angsur akan dapat mencapai tujuan hidupnya yang tertinggi ialah bebas dari segala ikatan keduniawian, untuk mencapai bersatunya Atman dengan Brahman.
Bhagavad-Gita VII. 19:
Bahunam janmanam ante jnnanawan mam prapadyate Wasudewah sarwam iti sa mahatma sudurlabhah.
Artinya:
Pada akhir dari banyak kelahiran orang yang bijaksana menuju kepada Aku, karena mengetahui bahwa Tuhan adalah semuanya yang ada.
Kebebasan yang sulit dicapai banyak makhluk akan lahir dan mati. serta hidup kembali tanpa kemauannya sendiri. Akan tetapi masih ada satu yang tak tampak dan kekal, tiada binasa dikala semua makhluk binasa. Nah, yang tak tampak dan kekal itulah harus menjadi tujuan utama supaya tidak lagi mengalami penjelmaan ke dunia, tetapi mencapai tempat Brahman yang tertinggi.
Jika kita selalu ingat kepada Brahman, berbuat demi Brahman maka tak usah disangsikan lagi kita akan kembali kepada Brahman. Untuk mencapai ini orang harus selalu berusaha, berbuat baik sesuai dengan ajaran agamanya. Kitab suci telah menunjukkan bagaimana caranya orang melaksanakan pelepasan dirinya dari ikatan maya agar akhirnya Atman dapat bersatu dengan Brahman (suka tan pawali duka), sehingga penderitaan dapat dikikis habis dan tidak lagi menjelma ke dunia ini sebagai hukuman, tetapi sebagai penolong sesama manusia, sebagai Awatara.